Sebelum adanya jalur darat, jalur
air ini menjadi jalur alternatif bagi masyarakat Koto Lamo, Kampar Kiri, Riau.
Daerah tersebut berada di kawasan Hutan Riau, Rimbang Baling, namanya. Disana pula
terdapat lembaga konservasi.
Saling
berjejer satu sama lain. Bahu membahu pun terjadi. Begitulah aktivitas di
sekitar pelabuhan Gema, Tanjung Belit. Terdapat dua pelabuhan kecil berbeda.
Pelabuhan khusus motor dan khusus mobil.
Perahu
berukuran besar maupun kecil mempunyai nama yang cukup unik. Sesuai dengan
nama mesin pada perahu tersebut. Robin, sebutan untuk si kecil. Sedangkan
jonson untuk sebutan si besar. Perahu-perahu disana digunakan untuk kegiatan
sehari-hari masyarakat sekirat, bahkan juga sebagai mata pencaharian.
Hanya
berkisar 120 menit dari pusat kota ibukota provinsi Riau untuk sampai di Gema, Tanjung
Belit, Kampar Kiri, Riau. Disanalah titik pusat menuju Desa Koto Lamo. Saat itu
aku bersama lima teman lainnya mengenakan motor. Dan ini kali pertama ku
kesana. Sedangkan untuk yang kedua kali menggunakan perahu.
Harga
yang ditawarkan bervariasi. Robin - Rp. 300 k. Jonson – Rp. 500 k. Meski
demikian masih banyak yang menggunakan perahu, sebagai mata pencaharian sekitar.
Selain itu, juga menimbang medan darat yang masih terjal. Belum lagi ketika
musim hujan tiba. Jalur-jalur air melintas di sepanjang jalan.
Kondisi jalur darat saat hujan
Memang,
jika menggunakan kendaraan bermotor lebih cepat dari Gema menuju Koto Lamo,
berkisar satu jam. Bagi yang belum biasa dengan medan yang terjal alangkah
baiknya pergi dengan yang sudah berpengalaman. Sementara jika mengenakan perahu
sampan, lebih lama berkisar tiga jam dan harganya juga harga orang dewasa.
Meski demikian, setiap perjalanan mempunyai cita rasa dan sudut pandang yang
berbeda. Untuk mlengkapi cita rasa tersebut teman bisa mencoba kedua-duanya.
***
Desa Kota Lamo, dilihhat dari Puncak Indah Rimbang Baling
Desa Kota Lamo di pagi hari
Desa-desanya
dikelilingi bukit-bukit. Karena berada di kawasan Rimbang Baling (Hutan Riau).
Adat serta sosial budayanya masih kental. Nah, disini pula banyak terdapat
lubuk larangan tempat ikan larangan berada.
Jika bersusur dengan perahu, maka akan
melintasi sebuah lembaga yang bergerak di konservasi. Yups, WWF – World Wide Fund
and Nature.
WWF Indonesia merupakan salahsatu organisasi
konservasi independen terbesar di Indonesia yang mulai kegiatannya sejak tahun
1962. Pada tahun 1998, WWF Indonesia resmi menjadi lembaga nasional berbadan
hukum yayasan. Saat ini WWF Indonesia bekerja di 28 kantor wilayah di 17
provinsi di Indonesia, menjalin kerjasama dan bermitra dengan masyarakat, LSM,
media, dunia usaha, universitas, serta pemerintah baik dia daerah maupun pusat.
(www.wwf.or.id).
Di
sepanjang tepian sungai banyak tumbuh rotan air - tidak mempunyai batang
menjalar seperti rotan anyam. Daunnya mirip dengan palm hias. Namun, batangnya
penuh dengan duri. Saat mencabut harus hati-hati. Karena yang diambil adalah
pucuknya – bisa untuk sebagai pengganjal saat lapar. Rasanya sepat dan pahit,
namun sangat berkhasiat, yang mana bisa menyegarkan tenggorokan karena
kandungan banyak kandungan airnya.
Rotan air (Dokumen Si Bolang Dari Kampar Riau)
“Lomak (Enak),” kata Radit – anak desa
Koto Lamo. Radit dan Dezi temannya, biasa mencari rotan air saat dan atau
setelah bermain air.
Sungai dijadikan Lubuk Larangan di Desa Kota Lamo
Lubuk
Larangan – hanya boleh di ambil ikannya setiap setahun sekali atau biasanya pada
musim kemarau tiba. Lubuk larangan tersebut di jaga ketat oleh tetua adat
setempat. Jika, ada yang mengambil sebelum waktunya tiba harus meminta izin, jika
tidak izin maka hukum adaqt yang bertindak. Percaya tidak percaya hal semacam
ini memang masih ada. Seperti pepatah “dimana bumi dipijak, disitu langit
dijunjung”. ‘Tidak perlu cemas, meski demikian tidak ada larangan untuk
mengambil ikan menggunakan pancing, dengan syarat, hanya ikan kecil yang di
pancing,” ucap Yurnalis (Istri ketua dusun II).
Selain
memancing, masyarakat juga biasanya memolo ikan dengan cara berenang serta juga
menggunakan tangguak. Biasa disebut manangguak.
Tangguak merupakan anyaman yang terbuat dari rotan atau bambu dengan berbagai
bentuk dan ukuran. Selain ikan, udang juga menjadi buronan warga sekitar untuk
dijadikan lauk pauk. Maka, nikmat Tuhanmu mana lagi yang kau dustakan.
Batu Kalang
Keindahan
lainnya adalah Batu kalang. Lokasi Batu Kalang, berbatasan dengan Desa Shanti. Untuk
bisa sampai di sana bisa mengenakan perahu dan juga motor. Terdapat parkir
motor dan juga perahu. Namun, jika benar-benar susur Rimbang Baling alangkah
elok mengenakan perahu.
Menikmati hasil tangkapan ikan di Batu Kalang
Di
Batu Kalang, bisa memancing dan memolo ikan, sambil berenang. Hal itu biasa
dilakukan Ika Piyasta sejak masih dini sampai sekarang menjadi mahasiswa. Jika
sekiranya tangkapan ikan udah ok, kita bisa menikmati langsung disana. Bisa
dipanggang bahkan bisa juga dengan masak dengan beragam bumbu dapur seperti di
rumah. Asalkan alatnya lengkap. Semakin menggoda kan teman. Daripada penasaran,
cus langsung ke lokasi ya.
Selain
itu juga, di Batu Kalang adalah tempat memacu adrenali untuk bermain arung
jeram. Belum ke Rimbang Baling, jika belum ke Batu Kalang. Bebatuan yang
besar-besar memanjakan untuk merefleksikan syaraf-syaraf mata setelah bekerja
bagai kuda hehehe. Nyanyiaan alam air, hutan, angin dan aves terasa sampai ke
kalbu.
***
Air Terjun Malancau. (Dokumen Si Bolang Dari Kampar Riau)
Susur
selanjutnya ke Air Terjun Malancau, berada di tepian Sungai Shanti – Subayang. Berdasarkan
cerita warga setempat, di sebut malancau berasal dari bahasa setempat yang
artinya meluncur. Jika diartikan berarti Air Terjun Meluncur... byuur adem
begitulah saat menyelupkan diri di air terjun.
Jika
disusur dari Desa Kota Lama, lokasi air terjun ini cukup jauh. Berkisar satu
jam lebih. Alangkah lebih baik jika kita bisa menyusur lebih jauh ke hulu desa
yaitu Desa Subayang. Berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Barat.
***
Mengenai
pendidikan, tidak terlalu tertinggal. Karena terdapat dua Sekolah Dasar (SD) di
Kota Lama, dan satu Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sedangkan jika ingin
melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat, merantau ke Lipat
Kain. Terkadang malah ada yang pulang pergi alias PP, cenderung pada laki-laki.
Masayarakat
desa disana sangat mengandalkan sungai, baik untuk mandi, cuci sandang dan
pangan itu di sungai. Begitu juga ketika ingin membuang hajat. Belum ada yang
mempunyai sumur. Bahkan di sekolah itu menampung air hujan atau juga pergi ke
sungai jika ingin membuang hajat. Begitu juga masyarakat sekitar menampung air
untuk kebutuhan di malam hari.
Suatu
kejadian terjadi pada Zemi siswa kelas dua SMP, kakinya pernah terpeleset saat
sedang buang hajat di sungai. Menjadikan sepatunya basah kuyup. Hal itu ia
lakukan karena toilet di sekolah rusak. Dan yang bisa digunakan hanya toilet
guru.
Desa
tersebut juga pernah di datangi oleh I-Yes. Sebuah lembaga swadaya masyarakat. Hal
yang biasa dilakukan bekerjasama dengan desa dan sekolah untuk kegiatan belajar
mengajar selama tiga hari.
***
Untuk
tetap menjaga kelestarian hutan dan air, kiranya kita bisa mencontoh masyarakat
desa Koto Lamo. Dan jika ingin membantu untuk mengekplorasi daerah tersebut
alangkah baiknya melakukan kegiatan-kegiatan positif bersama warga seperti
kampanye tidak menebang pohon sembarangan, atau jika menebang pohon maka
menanam kembali pohon yang ada.
Jika
ingin menjadikan sebagai daerah sadar wisata, maka cobalah untuk memakai
perahu. Menimang selain sebagai ekonomi warga.
Susur Rimbang Baling dengan perahu
Melihat
bebrapa bukit telah gundul karena sawit, jangan sampai sawit menyerang seluruh kawasan
Rimbang Baling. Tidak akan cocok dengan hastagh Save Rimbang Baling. “Lebih
baik jalan darat tetap seperti itu (buruk) daripada dibagusin, tapi illegal logging semakin parah terjadi,”
tutur Nafi – mahasiswa UIN Suska Riau / teman seperjalanan.





Komentar