Setiap harinya, masyarakat Indonesia dapat melihat berbagai macam program acara yang ditawarkan oleh stasiun-stasiun televisi (TV) pemerintah maupun swasta nasional. Berbagai macam program acara yang ditayangkan di TV mulai dari tayangan berita, olahraga, traveling, film, serta infotaiment menjadikan bertambahnya wawasan dan ilmu pengetahuan masyarakat (Pemirsa).
Dari beberapa program diatas, tak jarang masyarakat Indonesia menonton film melalui TV maupun bioskop, salah satunya sebagai mediasi hiburan. UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman – Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukan.
Dalam hal ini bagian perfilman harus bekerjasama dengan Lembaga Sensor Film (LSF) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) - bagian terpenting dalam produksi film, khususnya ketika film tersebut akan tayang di layar kaca.
Untuk mengkaji hal tersebut, perlu diketahui mengenai Sensor Film dan LSF. UUD No. 18 Tahun 2014 Tentang Lembaga Sensor Film: Pasal 1 Ayat 2 – Sensor Film adalah penelitian, penilaian dan penentuan kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukan kepada khalayak umum, Pasal 1 Ayat 4 – Lembaga Sensor Film yang disingkat dengan LSF adalah lembaga yang melakukan penyensoran setiap film dan iklan film, dan Pasal 2 Ayat 1 – Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan atau dipertunjukan wajib memperoleh surat tanda lulus sensor.
LSF mempunyai Tugas, Fungsi dan Wewenang yang dibahas di Pasal 6b – melakukan penelitian dan penilaian judul, tema, gambar adegan, dan teks terjemahan suatu film dan iklan film yang akan diedarkan dan atau dipertunjukan kepada khalayak umum. Karena film memiliki kesatuan makna narasi audio visual dari awal sampai akhir. Hal inilah yang menjadi tugas LSF lebih teruarai dan jelas. Jika terjadi sebuah penghilangan adegan yang substansial akan makna film itu sendiri. Masalah ketidakjelasan ini akan mengandung persepsi yang beragam dan multitafsir atas kandungan isi film dan iklan film di Indonesia.
Hal tersebut terjadi pada Sutradara Upi Avianto, yang beberapa kali film garapannya disensor, 1)Perempuan Punya Cerita, 2)Radit dan Jani (Kapanlagi.com) , dan 3)My Generation (brilio.net). Dalam kicauannya melalui akun twitter @upirocks (12 November 2017) – 1. Saya bikin film My Generation memang untuk remaja millennial. Tapi memang sayang dari badan sensor saya kena rating 17+. Pdhl semua cerita disitu remaja juga tau bhkn lebih dari itu. Gak ada adegan sexs. Kissingpun lebih spt kecupan dan cuma satu scene. Kicauannya berakhir pada nomor 11.
Berbagai prosedur penyensoran film terdapat dalam UU No. 18 Tahun 2014c Tentang Lembaga Sensor Film Pasal 24 Ayat 2: a). pemilik film dan iklan film mendaftarkan film dan iklan film ke LSF, b) film dan iklan film diteliti dan dinilai serta ditentukan kelayakannya oleh LSF dan dilabeli dengan surat tanda lulus sensor atau tidak lulus sensor, c) film dan ilan film yang tidak lulus sensor dikembalikan kepada pemilik film untuk diperbaiki, dan d)film dan iklan film sudah diperbaiki oleh pemilik film dan iklan dapat diajukan lagi dan dinilai kembali oleh LSF.
Dengan demikian, jelas bahwa penyensoran dilakukan dengan prinsip dialog dengan pemilik film yang disensor yaitu pelaku kegiatan perfilman, pelaku usaha perfilman, perwakilan diplomatik atau badan internasional yang diakui pemerintah. Dilain sisi dengan adanya LSF, hal tersebuut dapat melindungi diri pengaruh negatif film. Maka, penting adanya LSF.
Tak hanya itu dalam Undang Undang Perfilman Tahun 2009 Pasal 43 menegaskan “Bahwa pelaku usaha perfilman dilarang melakukan sulih suara film impor ke dalam bahasa Indonesia, kecuali film impor untuk kepentingan pendidikan dan/atau penelitian.” Alih-allih untuk merealisasikan hal tersebut berdasarkan majalah LSF Edisi V 2016 “LSF sudah menggelar dialog dengan stasiun televisi.” Kesimpulannya bahwa seluruh stasiun televisi yang menayangkan serial film impor harus secepatnya menghentikan sulih suara atau alih bahasa.
Mengapa demikian? Dapat memanjakan otak, mengurangi pengetahuan budaya seperti logat asli dari masing-masing serial. Padahal tujuan perfilman sendiri mencerdaskan kehidupan bangsa. Dikhawatirkan terdapat kekeliruan pada teknik dubbing dikarenakan perbedaan kulturan di setiap negara. Kemudian dengan dubbing sebuah karya jadi tidak murni.
Adanya subtitle berguna untuk lebih menanamkan kebiasaan membaca sekaligus belajar membaca dengan lebih cepat. Sehingga fungsi otak bekerja dua kali. Tak hanya itu, subtitle berguna bagi taman-teman disabilitas seperti tuna rungu. Mereka tidak dapat mendengar tapi bisa membaca.
Dengan kekuatan yang dimiliki TV, sebuah film disajikan dengan membawa pesan moral, adat istiadat, budaya dan agama. Lantas apakah kita menonton sudah sesuai dengan klasifikasi usia yang dikeluarkan oleh LSF seperti sensor mandiri untuk memilih film sesuai dengan usianya?
Sensor mandiri perlu dilakukan pada diri sendiri serta orang tua terhadap anak. Sensor mandiri terhadap diri sendiri dapat dikatakan mudah, karena sudah mengetahui mengenai klasifikasi usia serta tahu peran tokoh seperti antagonis, protagonist begitu juga adegan-adegan perscene. Mana yang harus ditiru dan tidak ditiru dalam kehidupan sehari-hari.
Berbeda dengan sensor mandiri orang tua terhadap anak. Setiap anak pasti senang ketika ditemani orangtuanya menonton TV. Selain itu bisa menjadi metode pengawasan mengenai apa yang ditonton oleh anak. Ardiba Sefrienda dalam majalah LSF 2016 rubrik Sudut Pandang – saya pasti mendampingi anak saat menonton video di internet. Bahkan, untuk film yang akan ditonton, saya selalu mencari referensi terlebih dahulu tentang film tersebut. tak jarang saya menonton terlebih dahulu film yang akan ditonton oleh anak.
Selain LSF yang melakukan sensor, mulai saat ini mari kita lakukan sensor mandiri sebagai wujud kepribadiann bangsa.

Komentar