Langsung ke konten utama

Menyatu Padu Layaknya Suku Tengger


“Karena Mumpung” adalah kalimat ajaib ketika berada di lokasi yang namanya sama dengan sayur. Pahit, katanya. Enak juga katanya. Pare adalah lokasi nyata sebagai titik kumpul – layaknya Suku Tengger di kawasan Bromo.


“Belum beli sarung tangan, syal, kaos kaki.”
“Jaketnya beli, sewa atau pinjam?”
“Kalau kamera gimana? Pakai hp kurang greget. Soalnya kita kan ada tugas shadowing, biar cetar hasilnya.”
“Eh iya bener itu, jajan juga jangan lupa. Pasti disana mahal-mahal.”
“Oh iya sepatu juga guys, biar keren haha”

Percakapan seperti itulah yang menggiringku untuk nubruk bertanya polos – mau kemana?
Mereka pun menjelaskan angkatan mererka akan melangsungkan liburan yang dibekali tugas oleh tutor kursus mereka. Itu adalah sebuah agenda yang tidak wajib, namun para member merasa itu wajib “Karena Mumopung”. Pen ikutan, sahutku.

“Coba tanya ke Mr. W kalau nggak salah masih kurang untuk tujuh orang. Dan selain itu juga diperuntukan untuk yang tinggal minggu terkahir disini.”

Saat kelas siang berlangsung, Mr. W memberi tahu ke kelasku. Tangan-tangan minggu terakhir sontak reflek mengangkat dengan sendirinya, termasuk aku. Disusul Miftah, Ega dan gina dari kelasku. “Ok,” kata Mr. W.

Cukup membayar 180 k, kami mendapat tiket perjalanan tersebut. Iclude bus serta jeep dan drivernya. Perjalanan pun di mulai Jumat malam Sabtu pukul 22.00 WIB. Satu bus cewe dan satu bus cowo siap memberangkatkan kami menuju Bromo.

Pakdeee musiknya.”
“Ok,” sahut pakde.

Pakde mengawali musik legend dangdut Indonesia atas request para member. Bahkan seorang member rela hp nya dicolok demi mendengar lagu tersebut untuk mencairkan suasana. “Hoa hoe...sayang opo koe krungu jerite atiku...”

Aku duduk bersebelahan dengan Miftah, gasid asal tana Toraja, Makassar. Ia pun menikmati musik demi musik. Ini adalah first time bagi aku, dia dan kami member Al-Fitrah dari belahan bumi Indonesia. Semakin larut, jalan semakin meliuk-liuk begitu juga tubuh kami karena hawa dingin merasuki.

Selain terkenal dinginnya, jalanan Malang sempit dan berliku juga berbukit. Benar, saat kami berada di wilayah tersebut terjebak macet. Hampir setengah jam kami menunggu. Gila, sempit banget coy, mobil yang lewat gede-gede! – gumamku. Mirip dengan jalan menuju Sumatera Barat.

Pakde pun sempat turun beberapa kali memastikan kenapa. Selain macet dan weekend, rupanya ada perbaikan jalan. Sehingga harus bergantian.
***

Bus kami yang berukuran sedang, mangharuskan kami tukar minibuss – bermuatan 15 orang. Para penjajak syal, kaos tangan, bandana, topi dan atribut silih berganti menawarkan. Beberapa dari kami ada yang membeli.Monggo mbak, mas, supaya nggak kedinginan di sana (Bromo).”

Setelah itu kami menuju ke titik selanjutnya. Untuk bertukar kendaraan menjadi jeep. Disana juga terdapat yang jualan seperti ditempat tadi. Akhirnya aku tergoda untuk membeli topi – 25 k. Jeep yang awalnya di isi delapan orang, harus ditambah lagi. Menjadi sembilan orang. Kesalahan komunikasi driver jeep terhadap kami. Belum lagi jeep berangkat terlampau lama. Kami harus menunggu 45 menit. Untuk tidak menunggu waktu lama, kami pun cabut dari pemberhentian terakhir menuju Bromo. Sekitar pukul tiga dini hari.

Jalanan sempit, curam dan berliku sudah menjadi hal biasa. Ya, bagi para driver. Kami yang belum biasa mencoba membiasakan dengan obrolan santai dini hari. Mengharap bisa menikmati puncak sunrise lalu mendokumentasikannya lewat foto, video maupun hitam di atas putih.

Jeep warna-warni mulai berderet disepanjang jalan Mt Penanjakan -  ini banyak dijajakan kios-kios makanan dan minuman serta sewa jaket. Pelataran yang sudah disedimentasi memudahkan untuk istirahat sambil lesehan. Sambil menikmtai sunrise bisa juga memanfaatkan spot lain untuk berfoto.

“Jam lima tiga puluh udah di bawah ya (parkiran),” tutor berpesan pada kami.



Bagi yang ingin menikmati sunrise di puncak harus lebih berusaha. Karena di jam-jam genting dini hari banyak ingin menikmati di puncak dan banyak juga yang sudah turun dari puncak. Pasang mata berlalu lalang mengiringi perjalanan menuju puncak. Jalan, duduk, berdiri sampai jalan lagi dimanfaatkan para pejuang sunrise yang kedinginan. Suhu 8 derajat celcius menemani langkah kami. Mengapa bule tidak kedinginan meski memakai pakaian pendek?

Ada aku, Miftah, Gina, Ms. Sulis, Tiara, Ms. Aisyah bebarengan nanjak. Dan yang tersebut namanya. Beberapa memutuskan berhenti di tengah jalan. Bebarapa lainnya lanjut termasuk aku. Saking penasaran bisa merasakan seperti yang ditayangkan di televisi. Kecanggihan hp yang memiliki senter kami gunakan untuk menyinari jalanan supaya seimbang dan tidak terjatuh. Entah karena saking ramainya banyak yang pisah dengan rombongan. Untung jalan ke atas hanya satu. Sehingga bisa bertemu di atas.

Dalam perjalanan ke atas aku bersama Ms. Aisyah. Ia senang suasana disana, begitu juga viewnya. Namun, saat di atas aku tak menjumpainya saking berjubel manusia ingin melihat sunrise. Ku cari-cari dan ku panggil tak jua jumpa. Malah bertemu dengan rombongan lain. Dan mereka juga sudah terpisah dengan yang lain.


Lokasi sunrise menampilkan pemandangan yang indah dan mengagumkan. Disana kita bisa melihat Gunung Bromo, Pasir Berbisik, Gunung Batok serta Semeru. Ribuan pasang mata manusia turut serta menyaksikan munculnya matahari dari warnanya yang kalem orange muda, tua, pudar bersinar. Sepatutunya kita bersyukur untuk mengawali hari-hari. “Maka nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan.”


Meski belum pukul lima sampai di puncak sunrise, namun puncak sudah dipenuhi ribuan umat. Bahkan pagar pembatas juga diduduki. Tak luput para penjual bunga membuat lapak disana. Bagiku setiap perjalanan memiliki cita rasa yang berbeda untuk dinikmati. Beruntung minum yang di kantong masih ada.


Dimana bumi dipijak, disana kita berkodak. Aku pun melakukannya. Dan saling bergantian dengan yang lainnya. Termasuk saat aku sudah turun dan bertemu dengan teman-teman. Berlatar view Bromo yang menakjubkan ala selfie dan foto sendiri.

Waktu yang cepat berlalu, kami pun melalui waktu untuk turun menuju parkiran. Banyak dari kami yang merasa harus ke toilet. Harga di bandrol 4 ribu rupiah. Mahal, ya. Dari pada tidak dikeluarkan, bau pesing yang malu semuanya guys.

Kita juga bisa menikmati makanan dan minuman panas yang dijajakan disana seperti bakso dan mie, kopi dan teh serta gorengan. Harga yang wajar untuk bakso dan mie, diberi 10 ribu. Teh dan kopi, 5 ribu. Harga terkejut diberikan pada gorengan disana. Bukan 500 rupiah seperti yang di Pare. Namun, 3 ribu rupiah. Sontak aku tersedak saat hendak membayar namun masih mengunyah. Dan Ms. Sulis yang melihatku terkejut dan tertawa lepas setelah kami keluar dari kios. Bagaimana tidak, tempe satu di bagi empat. Lalu persatuannya di beri harga terkejut.

Di kawasan kaki gunung Bromo menjadi titik kumpul Suku Tengger saat terdapat acara unan-unan – kepercayaan adat setempat untuk menangkal penyakit maupun energi negatif. Pura Sapto Agro adalah tempatnya.


Berdasarkan (BBC News Indonesia/Upacara Unan-unan dan Kisah Toleransi Suku Tengger) – Umat hindu, Budha dan Islam di kaki gunung bromo, Jatim menempatkan agama sebagai keyakinan individu, tetapi mereka aktif bersama dalam melestarikan adat budayanya. Upacara Unan-unan dilangsungkan Kamis 21 Mei 2018. Agama ditempatkan sebagai keyakinan individu, namun seluruh masyarakat Suku Tengger harus terlibat dan aktif dalam melestarikan adat budaya. Terutama acara adat yang rutin diselenggarakan Suku Tengger di lereng gunung Bromo.

“Masing-masing agama punya tuntutan sendiri. Kenapa harus bertengkar? Kenapa gegeran?” kata Ponadi pemuka agama Budha.
Timbul Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PDHI) menimpali – Hari ini istimewa, lantaran ketiga umat hindu merayakan galungan, Budha merayakan Waisak dan umat Islam tengah beribadah puasa. “Galungan, waisak dan puasa berurutan. Dilanjutkan semua umat mengikuri upacara Unan-unan untuk memuja Tuhan meminta keselamatan.”

Umat Hindu melakukan ibadah galungan di depan pura, umat Budha Jawa Sanyata sembahyang reboan di Vihara dan umat Islam ibadah shalat zuhur di musola maupun masjid setempat. Toleransi sudah mendarah daging pada Suku Tengger yang berbeda-beda agama. Bhineka Tunggal Ika dijunjung tinggi. Lalu, sudahkah bangsa Indonesia menganut dan memahami serta mempraktikan mengenai semboyan tersebut yang selalu dikoarkan?
***



Masih di kawasan Bromo, perjalanan kami lanjutkan menuju kaki gunung Bromo, Pasir Berbisik, Kawah Bromo dan Pura Sapto Agro. Para member dipersilahkan menikmati hamparan luas tersebut. Jika ingin melakukan perjalanan hemat dan sehat baik jasmani, rohani serta kantong maka berjalanlah. Namun jika ingin menikmati perjalanan penuh gengsi bisa dengan menyewa kuda. Setidaknya di balik gengsi tersebut menambah penghasilan para kusir kuda.

Bromo menawarkan sensasi yang memukau. Tidak sekadar perjalanan. Didalamnya terdapat budaya, sejarah serta keberagaman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saatnya Berbuat Sesuatu

“Suara kalian. Suara lo semua. Bukan gue . Tanpa kalian gue nothing . Yang berhasil adalah kalian. Yang didengar adalah suara kalian. Bukan gue . Masihkah lo pesimis?  Atau lo berani bilang "Ini saatnya gue berbuat sesuatu." Buku “Diary Gue, Diary Loe” karya Melanie Subono (Penyanyi, Aktivis HAM dan Ambasador Pekerja Migran Indonesia di Delapan Negara) yang terbit pada Mei 2014 dengan jumlah halaman 114 menjadi sorotan kedua mataku. Awalnya aku pikir ini sebuah buku yang bercerita mengenai kisah drama percintaan kawula pada umumnya. Ternyata aku salah besar, setelah membaca buku ini. Bahasa yang digunakan dalam buku tersebut menggunakan campuran bahasa, ada bahasa Indonesia, bahasa asing (Inggris) dan logat Jakarta seperti Gue dan Loe . Sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami. *** Buku ini bercerita tentang kecintaan penulis terhadap Indonesia khususnya kasus-kasus seperti Kasus Munir, kasus TKW bernama Imas Tati,  kasus seorang anak manusia ber...

Mandiri dalam Berseni

“Kami ingin membuktikan bahwa seniman itu mandiri,   membangun dengan keringat dan uang sendiri seperti dengan pertunjukan serta kreativitas” – Marhalim Zaini (Pendiri Rumah Kreatif Suku Seni Riau / RK-SSR) Beratap daun nipah dan beralaskan kayu menjadi ciri khas Sanggar Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK-SSR) ala rumah kampung dalam berkreatifitas sehari-hari. Pepohonan nan rindang menjadikan udara alami tetap terjaga serta semakin menambah kesejukan serta kenyamanan tempat itu. “Di Riau jarang ada sanggar atau komunitas yang bertahan lama dan memiliki tempat khusus untuk berkreativitas, banyak yang menempati fasilitas pemerintah seperti di Taman Budaya dan Lapangan Paripurna MTQ,” ucap Marhalim. Terdapat dua hal yang melatarbelakangi RK-SSR, 1) kemandirian – lepas dari tangan pemerintah atau tidak dibawah otoritas dari sebuah lembaga apapun. 2), menghimpun pekerja seni di Riau terutama yang memiliki visi serta motivasi yang sama, untuk berkarya yang sama dalam...

Kolaborasi antara Digital dan Kertas

Mengutip peribahasa kuno “ Verba volant scripta manen ” yang mengandung arti apa yang terkatakan akan segera lenyap, apa yang tertulis akan menjadi abadi. Jika dikaji lebih lanjut, maka hal tersebut berkaitan - alangkah baiknya apa yang terbilang untuk segera dituliskan agar tak lenyap. Maka hal itu akan berkaitan dengan si penampung goresan yaitu kertas. Kertas adalah benda yang berbentuk lembaran, dibuat dari bubur kayu yang biasa ditulisi atau untuk pembungkus. Tanpa kertas dunia ini nothing . Banyak fungsi dari kertas yang bisa didapatkan. Pertama , segi pengetahuan yang didapat dari kumpulan lembaran kertas bernama buku. Ia bisa menjadi guru dan juga guru yang tak pernah marah. Perkembangan teknologi menjadikan buku mudah dicari dan didapat. Bagaimana tidak, kini buku hadir dalam genggaman smartphone canggih. Pemilik smartphone hanya tinggal pilih dan unduh aplikasi e-book yang berfarian. Semua itu tinggal bagaimana kita memanfaatkan teknologi. Hal tersebut...