Langsung ke konten utama

Mengikuti Jejak Kota Pahlawan



Berwisata menjadi hal yang didambakan bagi sebagian besar umat. Beberapa penduduk bumi merencanakan agenda wisata jauh-jauh hari, beberapa lainnya bahkan tanpa rencana. Baik wisata lokal maupun luar. Bila musim libur tiba, mereka segera menyambut dengan gembira. Tak terkecuali aku.

Kali ini aku berkesempatan berkunjung ke provinsi yang mendapat award terbersih oleh Kementerian Pariwisata (Kemenpar) pada 2017 dan "kota terbaik bidang pariwisata Wonderful Indonesia Tourism Award 2018”. Ya, Kota Pahlawan – Jawa Timur. Dan ini kali pertamaku kesana.
Seorang teman dari Bojonegoro tiba di Bandar Udara (Bandara) Internasional Juanda pukul 18.45 WIB untuuk menjemput saya. Kebetulan ia kuliah di salah satu universitas islam negeri di Surabaya dan akan menggelar acara kelulusan strata satu. Cukup lama menunggu sejak pesawat dari Pekanbaru mendarat pukul 16.45 WIB.

Selang beberapa waktu menuju tempat inap, aku dan Farid – si kawan, menemui anggota grup. Hanya Faris yang dapat dijumpai. Mizan dan Himam sedang melakukan agenda. 

Untuk memanfaatkan waktu sekitar kami melipir untuk mengisi ‘kampung tengah” atas perintahku hehehe. Kenyang dan murah, sesuai harga mahasiswa (tingkat akhir). Sebuah warung penyetan di pinggir jalan menjadi alternatif. Kami sepakat memesan nila penyet dan minuman legendaris Indonesia yaitu teh es.

Tak berselang lama pesanan pun datang. Setelahku amati, ada yang berbeda. Ikan disana sudah digoreng. Jika ada yang memesan digoreng kembali. Begitu juga nasib ayam dan penyetan lainnya. Berbeda dengan di Pekanbaru, yang langsung main goreng saja jika memesan ikan. Sedangkan untuk ayam, ati ampela, puyuh sudah di kukus terlebih dahulu, baru digoreng dan disajikan. Bukan Indonesia, jika tidak kaya akan sajian makanan. Meski nama sama, belum tentu bumbu dan rasa serta penyajiannya sama. Itulah Indonesia, berbeda-beda tetapi tetap satu. Hidup Indonesia!
***
Salah satu provinsi terbesar di Indonesia ini menjadi wisata malam bagi saya. Pasalnya meski keeseokan harinya masih di provinsi yang sama, namun harus berpindah tempat. Let’s go to the Temple Surabaya.
 


Mata kagumku mengiringi sepanjang jalanan di Surabaya. Rasanya kepalaku ingin menjadi maps Kota Pahlawan ini.
 
Banyak pasang mata memandang tugu dengan lambang ikan sura dan baya. Seraya untuk mengagumi dengan ucapan maupun dengan jepretan dan video. Lalu lalang pasang mata silih berganti. Patung Surabaya yang dapat ku kunjungi berada di depan Kebun Binatang Surabaya atau tepatnya berada di Jalan Ponegoro, Darmo, Wonokromo, Surabaya. Meski tak dapat mengunjungi lokasi lain Patung Surabaya, setidaknya aku sudah menemui satu titik lokasi patung tersebut. Mengurangi “katanya” menjjadi oh ternyata. Jika belum ke Patung Surabaya belum ke Surabaya.

Pada sebuah acara atau program di TV kerap mengambil cuplikan video Patung Surabaya tersebut sebagai tanda sedang mengangkat isu menarik, traveling, kulineran, politik, ekonomin dan lainnya ketika berada di Surabaya. 

Selain sebagai ikon Surabaya, seperti yang kita tahu dari sejarah Tugu Surabaya sering dikisahkan dengan pergelutan dengan pergelutan antara ikan hiu sura dan baya. Adapula yang berpendapat bahwa Surabaya berasal dari kata Sura dan Baya. Sura berarti Jaya atau selamat. Sedangkan Baya berarti bahaya. Sehingga Surabaya dikaitkan dengan selamat menghadapi bahaya. Itu terjadi pada masa tentara Tar-tar menyerang Raja Jawa.


Petualangan malam selanjutnya menuju Taman Bungkul. Aku yang baru pertama kali disuguhkan untuk mencicipi rasa di taman ini. Wah! Ramai sekali, kataku. Sontak aku berkata – mau duduk dimana seperti ini?!

“Ramai kali ya? Tenang muter dulu aja kita sambil nyari tempat duduk,” ucap Faris.

Akhirnya kami mengelilingi bundaran yang disedimentasi dengan dipenuhi pasang badan yang merayap. Begitu juga bangku-bangku taman ludes diduduki para mereka penikmat malam obrolan santai. 


Para bakul cangcimen juga minuman, tak henti meneriakan dengan logat medognya “jajane mas, mbak”. Sudah berapa kali entah mereka lewat di depan kami.

Pemandangan menarik adalah ketika para gerombolan seniman jalanan memainkan alat musik keahliannya, dipadu padankan dengan suara emas sang vokalis. Mereka akan tampil di depan banyak rombongan manusia. Kurang lebih mereka memainkan tiga lagu, disetiap tampilannya.


Taman ini juga sebagai tempat pensi atau panggung seni bagi masyarakat sekitar. Tak heran jika taman ini selalu ramai. Hiasan ditaman juga menarik perhatian untuk dikunjungi dan yang pasti dijadikan spot foto dari berbagai angle. 

Taman Bungkul tidak lepas dari nama seorang tokoh yang perbengaruh dalam ajaran Islam di Surabaya dan sekitarnya. Ia adalah Ki Ageng Supo yang kemudian mendapat gelar Sunan Bungkul atau Mbah Bungkul. Makamnya berada di belakang taman tersebut. Sehingga di beri nama Taman Bungkul.

Taman Bungkul juga mulanya sebagai wisata religi. Yangmana pengunjung datang untuk berziarah ke makam Mbah Bungkul. Seiring waktu, taman tersebut direnovasi dan menjadi pusat ruang terbuka hijau yang hadir di pusat kota Surabaya, sejak diresmikan pada 2007 silam.

2013 lalu, taman tersebut meraih penghargaan The 2013 Asian Townscape dari Perserikatan PBB sebagai taman terbaik se-Asia. Dengan luas taman berkisar 900 meter persegi. Semoga taman-taman lain yang ada di Indonesia bisa mengikuti jejak langkah Taman Bungkul dan semakin banyak ruang terbuka hijau di jantung kota di Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saatnya Berbuat Sesuatu

“Suara kalian. Suara lo semua. Bukan gue . Tanpa kalian gue nothing . Yang berhasil adalah kalian. Yang didengar adalah suara kalian. Bukan gue . Masihkah lo pesimis?  Atau lo berani bilang "Ini saatnya gue berbuat sesuatu." Buku “Diary Gue, Diary Loe” karya Melanie Subono (Penyanyi, Aktivis HAM dan Ambasador Pekerja Migran Indonesia di Delapan Negara) yang terbit pada Mei 2014 dengan jumlah halaman 114 menjadi sorotan kedua mataku. Awalnya aku pikir ini sebuah buku yang bercerita mengenai kisah drama percintaan kawula pada umumnya. Ternyata aku salah besar, setelah membaca buku ini. Bahasa yang digunakan dalam buku tersebut menggunakan campuran bahasa, ada bahasa Indonesia, bahasa asing (Inggris) dan logat Jakarta seperti Gue dan Loe . Sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami. *** Buku ini bercerita tentang kecintaan penulis terhadap Indonesia khususnya kasus-kasus seperti Kasus Munir, kasus TKW bernama Imas Tati,  kasus seorang anak manusia ber...

Mandiri dalam Berseni

“Kami ingin membuktikan bahwa seniman itu mandiri,   membangun dengan keringat dan uang sendiri seperti dengan pertunjukan serta kreativitas” – Marhalim Zaini (Pendiri Rumah Kreatif Suku Seni Riau / RK-SSR) Beratap daun nipah dan beralaskan kayu menjadi ciri khas Sanggar Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK-SSR) ala rumah kampung dalam berkreatifitas sehari-hari. Pepohonan nan rindang menjadikan udara alami tetap terjaga serta semakin menambah kesejukan serta kenyamanan tempat itu. “Di Riau jarang ada sanggar atau komunitas yang bertahan lama dan memiliki tempat khusus untuk berkreativitas, banyak yang menempati fasilitas pemerintah seperti di Taman Budaya dan Lapangan Paripurna MTQ,” ucap Marhalim. Terdapat dua hal yang melatarbelakangi RK-SSR, 1) kemandirian – lepas dari tangan pemerintah atau tidak dibawah otoritas dari sebuah lembaga apapun. 2), menghimpun pekerja seni di Riau terutama yang memiliki visi serta motivasi yang sama, untuk berkarya yang sama dalam...

Kolaborasi antara Digital dan Kertas

Mengutip peribahasa kuno “ Verba volant scripta manen ” yang mengandung arti apa yang terkatakan akan segera lenyap, apa yang tertulis akan menjadi abadi. Jika dikaji lebih lanjut, maka hal tersebut berkaitan - alangkah baiknya apa yang terbilang untuk segera dituliskan agar tak lenyap. Maka hal itu akan berkaitan dengan si penampung goresan yaitu kertas. Kertas adalah benda yang berbentuk lembaran, dibuat dari bubur kayu yang biasa ditulisi atau untuk pembungkus. Tanpa kertas dunia ini nothing . Banyak fungsi dari kertas yang bisa didapatkan. Pertama , segi pengetahuan yang didapat dari kumpulan lembaran kertas bernama buku. Ia bisa menjadi guru dan juga guru yang tak pernah marah. Perkembangan teknologi menjadikan buku mudah dicari dan didapat. Bagaimana tidak, kini buku hadir dalam genggaman smartphone canggih. Pemilik smartphone hanya tinggal pilih dan unduh aplikasi e-book yang berfarian. Semua itu tinggal bagaimana kita memanfaatkan teknologi. Hal tersebut...