Sejak
pukul sepuluh lewat dua puluh tiga gawaiku berbunyi. Nomor tanpa nama itu
membuatku penasaran. Ku coba cek dengan gawaiku yang satu. Ya, aku tahu siapa
ia.
Ku
pastikan maksud dan tujuan. Dan ya, aku segera tau. Banyak, banyak, banyak.
Begitu juga maksud dan tujuanku, lebih sedikit darinya. Ah, sial pikirku.
Kakiku masih ‘dipasung’ dalam ruang persegi.
Aku
pun segera mencari cara agar bisa terbuka. Tak sulit, sebenarnya. Jika ku
panggil sang juru kunci. Di sudut sana prajurit lain sedang dilanda sakit, tak
mungkin aku meninggalkannya. Pikirku – ku urungkan niatku.
Baiklah,
ku hempas niatku, segera angin menangkapnya. Bersama prajurit, ku tinggal
bersama menikmati sebuah persegi. Karena, lari ke rimba bukan hal tepat saat
ini.
Sejak
angin menangkapnya kupikir sudah terkubur. Rupanya mati suri. Saraf-saraf
menunjukan reaksi. Bencana ini – pikirku. Padahal aku sedang ditemani
logaritma. Ucapku maaf padanya.
Akhirnya
setelah lewat lima menit di pukul dua belas, ku ucapkan ijin padanya. Silahkan
– katanya. Dan aku keluar. Namun, bukan untuk bertemu sang juru kunci.
Bersemedi menitip salam pada udara.

Komentar