Langsung ke konten utama

Berbeda Bukan untuk Dikasiani




Duduk di kursi hitam di antara para pemateri, wanita berkacamata yang juga mengenakan hijab biru dengan baju bermotif bunga dan celana serta sepatu hitamnya sekilas tampak tidak ada yang berbeda dengan dirinya. Ia berkesempatan menyampaikan keluh kesahnya yang terjadi di lapangan pada acara diskusi publik memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP) yang digelar oleh Koalisi Anti Diskriminasi (Kasai) Riau pada Sabtu, (1/12) di Aula Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Riau, Jl. Adi Sucipto. Acara berlangsung pukul 09.00 WIB - 12.00 WIB. Bertema "Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Berikan Demokratik Rakyat".

"Acara diskusi publik ini sebagai rangkaian 16HAKTP, yang jatuh pada 25 November, mendukung pemilu anti diskriminasi, yang mana catatan tahun ke tahun berdasarkan Komnas HAM dalam satu hari ada 3 perempuan dari 10 yang menjadi korban kekerasan. Nah, di Pekanbaru dari 100 kasus yang di tangani tahun ini 75% adalah perempuan dewasa dan anak perempuan," ucap Herlia Santi (Ketua 16 HAKTP).

Santi menambahkan – Kalau di Riau sendiri, tema acara secara menyeluruh sebenarnya anti diskriminasi. Agenda nasional adalah pemilu, jadi menyorot tentang penyelenggaraan pemilu. Harapan dari acara ini adalah bahwa di pemilu nantinya tidak terjadi diskriminasi terhadap perempuan. Sementara mengundang dari pihak perempuan disabilitas karena ada testimoni atau pengalaman kawan-kawan di lapangan sebagai penyandang disabilitas.

Di acara tersebut didatangkan para penyandang distabilitas dikarenakan secara hukum UU. No 8 tahun 2016 pemilih penyandang distabilitas memiliki hak pilih dan hak memilih namun menurut Leni anggota dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Riau, yang terjadi di lapangan tidaklah sesuai dengan hal yang ada pada aturannya. 

“Saat kami mendaftar sebagai pihak penyelenggara pemilu kami diterima dari tingkat Komisi Pemilihan Umum (KPU) namun di KPPS kami ditolak. Begitu juga saat kami ingin menggunakan hak suara kami justru kami tidak menerima undangan dari pihak Tempat Pemungutan Suara (TPS) hal ini terjadi saat Pemilihan Kepala Daerah Gubernur Riau (Pilkada Gubri), “ ujar Leni penyandang disabilitas yang mengalami kelainan pada tangan kirinya.

Ia juga mengatakan bahwa secara umum masyarakat memandang penderita disabilitas hanya sebagai beban keluarga dan masyarakat.

Ketua HWDI Riau, Fenty Widya juga menyayangkan masih adanya stigma masyarakat yang menganggap kami adalah beban dan harus dikasiani. Memang kami berbeda, namun kami sebenarnya bisa.

“Masuklah Fenty ke sini (KPPS) kami (6 orang dari KPPS) mundur,” imbuh Fenty kepada para tamu undangan yang hadir.

Lianny Rumondo ( Ketua Rumpun Perempuan dan Anak Riau/ Rupari) jelaskan bahwa dalam UU perubahan yang dilakukan seiring berjalannya waktu hanyalah penyebutannya saja yang berubah. Pertama, penyandang cacat yaitu berbasis belas kasihan berbentuk uang dan usaha. Kedua, difabel (perhatian dalam bentuk kesehatan) seperti ketika tidak dapat berjalan diberi kursi roda dan tidak bisa melihat diberi tongkat serta yang lainnya. Terakhir disebut disabilitas yang sekarangpun sudah berkembang secara pasif. Dalam kesempatan ini para penyandang distabilitas berharap bisa turut berpartisipasi dala pemilu dengan menerima mereka sesuai kapasitas kemampuannya.

“Penyandang distabilitas itu adalah orang-orang yang istimewa. Mereka memerlukan support dari orang sekitar sebab mereka memiliki banyak kemampuan yang terpendam” ungkap Lisda.
Ia mengakatan juga bahwa tidak hanya penyandang ditabilitas yang mengalami diskriminasi karena dalam kasus di lapangan suara perempuan adalah suara semu yang maksudnya suara perempuan itu bisa didapatkan berdasarkan paksaan yang dilakukan suami saat terjadi pemilu. Padahal dari 185 juta penduduk Indonesia dan Data pemilu  Riau 3.8 juta jiwa yang melakukan pemilu kepala daerah dan hasilnya Setengah dari jumlah tersebut adalah perempuan.

“Data yang kami peroleh dari Bawaslu kami berharap bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam hal apapun harus segera dihentikan sebab kehadiran perempuan merupakan suatu penyejuk dalam sebuah organisasi atau lembaga,“ tegasnya

Amirudin Si Jaka (Bawaslu Provinsi Riau) dalam penyampaiannya mengenai "Mewujudkan Kualitas Pemilu" - Bawaslu menjamin penuh kualitas pemilu dengan syarat pemilu tercantum dalam UU adanya pemilu yang cerdas, peserta pemilu (capres dan Parpol) taat aturan, birokrasi netral, penyelenggara yang berkompeten dan berintegritas.

Masih dari perwakilan Bawaslu Riau,  Neil Antariksa, menegaskan – jangan sampai ada warga yang kehilangan hak pilih, seperti para penyandang disabilitas mental agar segera dimasukan dalam hak pilih, begitu juga tingkat kepedulian terhadap perempuan harus tinggi menimbang jumlah pemilih perempuan tadi.

Melalui acara ini pula Santi mengingatkan kembali –  supaya meningkatkan pemahaman mengenai  kekerasan berbasis gender sebagai isu HAM, agar masyarakat luas menjadi tau, dan banyaknya komunitas yang hadir nantinya dapat menyampaikan kepada lingkungan sekitar, lalu membangun kerjasama yang lebih solid untuk mengupayakan kekerasan terhadap perempuan ditingkat lokal dan nasional.

Di lain kesempatan Fenty hadir sebagai undangan Kelas Anggaran Perempuan yang diadakan oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau, Senin, (4/2). Fenty pun menginginkan agar ada kejelasan anggaran yang dijanjikan Perda no 18 Tahun 2013. Program Penanggulangan Kemiskinan (PKH) yang dibuat pemerintah hanyalah untuk disabilitas berat atau parah yang tidak bisa berbuat sesuatu.

Sementara itu, disabilitas rentan terhadap penyakit. “Saya harus setiap minggu pergi ke rumah sakit untuk cek kesehatan, saraf di kepala saya sekarang sudah kena,” terangnya.

Selain itu, Fenty juga tidak memiliki BPJS. Sehingga ia harus bayar biaya rumah sakit sendiri. Padahal sejak sebelum menikah ia sudah mengajukan, namun sampai sekarang belum juga keluar. “Sudahlah kami miskin, kami juga harus membayar perwatan dengan biaya sendiri, lalu kemana anggaran untuk disabilitas?”

Tak hanya itu, pemerintah Provinsi Riau harus mulai membenahi fasilitas untuk disabilitas. Halte bus Trans Metro, contohnya, yang cenderung berpondasi tinggi dan beranak tangga menyulitkan penyandang disabilitas menikmati fasilitas transportasi umum. “Fasilitas ada, namun tidak sesuai untuk kami penyandang disabilitas, saya sendiri pernah jatuh saat menaiki anak tangga, sejak kejadian itu saya bepergian selalu pakai ojek. Untunglah sekarang ada ojek online, sehingga semakin memudahkan. Meski begitu pemerintah tetap harus membenahi halte bus, supaya kami juga bisa seperti yang lain di Surabaya,” harap Fenty.

Terkait hal tersebut, Fenty pun menghimbau agar masyarakat yang mengalami disabilitas untuk tetap percaya diri dengan apa yang terjadi pada kondisi fisikna. Dan tidak perlu menutupi keadaannya. Agar data statistik disabilitas semakin transparansi, begitu juga transparansi dana pemerintah kepada penyandang disabiltas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saatnya Berbuat Sesuatu

“Suara kalian. Suara lo semua. Bukan gue . Tanpa kalian gue nothing . Yang berhasil adalah kalian. Yang didengar adalah suara kalian. Bukan gue . Masihkah lo pesimis?  Atau lo berani bilang "Ini saatnya gue berbuat sesuatu." Buku “Diary Gue, Diary Loe” karya Melanie Subono (Penyanyi, Aktivis HAM dan Ambasador Pekerja Migran Indonesia di Delapan Negara) yang terbit pada Mei 2014 dengan jumlah halaman 114 menjadi sorotan kedua mataku. Awalnya aku pikir ini sebuah buku yang bercerita mengenai kisah drama percintaan kawula pada umumnya. Ternyata aku salah besar, setelah membaca buku ini. Bahasa yang digunakan dalam buku tersebut menggunakan campuran bahasa, ada bahasa Indonesia, bahasa asing (Inggris) dan logat Jakarta seperti Gue dan Loe . Sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami. *** Buku ini bercerita tentang kecintaan penulis terhadap Indonesia khususnya kasus-kasus seperti Kasus Munir, kasus TKW bernama Imas Tati,  kasus seorang anak manusia ber...

Mandiri dalam Berseni

“Kami ingin membuktikan bahwa seniman itu mandiri,   membangun dengan keringat dan uang sendiri seperti dengan pertunjukan serta kreativitas” – Marhalim Zaini (Pendiri Rumah Kreatif Suku Seni Riau / RK-SSR) Beratap daun nipah dan beralaskan kayu menjadi ciri khas Sanggar Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK-SSR) ala rumah kampung dalam berkreatifitas sehari-hari. Pepohonan nan rindang menjadikan udara alami tetap terjaga serta semakin menambah kesejukan serta kenyamanan tempat itu. “Di Riau jarang ada sanggar atau komunitas yang bertahan lama dan memiliki tempat khusus untuk berkreativitas, banyak yang menempati fasilitas pemerintah seperti di Taman Budaya dan Lapangan Paripurna MTQ,” ucap Marhalim. Terdapat dua hal yang melatarbelakangi RK-SSR, 1) kemandirian – lepas dari tangan pemerintah atau tidak dibawah otoritas dari sebuah lembaga apapun. 2), menghimpun pekerja seni di Riau terutama yang memiliki visi serta motivasi yang sama, untuk berkarya yang sama dalam...

Kolaborasi antara Digital dan Kertas

Mengutip peribahasa kuno “ Verba volant scripta manen ” yang mengandung arti apa yang terkatakan akan segera lenyap, apa yang tertulis akan menjadi abadi. Jika dikaji lebih lanjut, maka hal tersebut berkaitan - alangkah baiknya apa yang terbilang untuk segera dituliskan agar tak lenyap. Maka hal itu akan berkaitan dengan si penampung goresan yaitu kertas. Kertas adalah benda yang berbentuk lembaran, dibuat dari bubur kayu yang biasa ditulisi atau untuk pembungkus. Tanpa kertas dunia ini nothing . Banyak fungsi dari kertas yang bisa didapatkan. Pertama , segi pengetahuan yang didapat dari kumpulan lembaran kertas bernama buku. Ia bisa menjadi guru dan juga guru yang tak pernah marah. Perkembangan teknologi menjadikan buku mudah dicari dan didapat. Bagaimana tidak, kini buku hadir dalam genggaman smartphone canggih. Pemilik smartphone hanya tinggal pilih dan unduh aplikasi e-book yang berfarian. Semua itu tinggal bagaimana kita memanfaatkan teknologi. Hal tersebut...