Melalui jalur darat dan air,
melewati kota minyak. Ketika itu pula mata mengintip laut lepas perbatasan
negeri Jiran Malaysia. Pengalaman amat istimewa di Desa Teluk Rhu, Rupat Utara,
Bengkalis, Riau.
Kini saatnya anda mengalihkan wisata tujuan menuju
Pulau Rupat Utara yang dikarunia takaran pesona keindahan lebih dari cukup.
Membutuhkan waktu enam jam dari ibukota Provinsi Riau (Pekanbaru) dan dua jam
dari Dumai si Kota Minyak. Dilalui dengan jalur darat dan air.
Jalur darat dimulai dari Pekanbaru – Dumai. Disusul
dengan jalur air berkisar dua jam, dari Pelabuhan di Dumai - sebagai gerbang awal menuju Desa Teluk Rhu, Pulau Rupat,
Bengkalis, Riau yang mulai digencarkan secara profesional. Alasan utamanya kaya
akan hasil laut dan hanya 45 menit untuk sampai keperbatasan negeri Jiran,
Malaysia.
Jalur air terdapat dua type – dengan speedboat untuk
penumpang dan barang. Kemudian roro atau kapal veri kecil - dapat
mengangkut penumpang dan barang juga, kelebihannya bisa membawa kendaraan namun
lebih lama satu jam serta biaya lebih murah.
Pout, pout, pout!
Kira-kira begitulah bunyi dari speedboat. Saya berasa bak di kapal dan
pelabuhan besar seperti Merak dan Bakauheni. “Jom!” seru penumpang.
Keindahan
alam Rupat, secara geografis
berbatasan dengan Dumai, Rokan Hilir dan Selat Malaka yang dihuni oleh tiga
puluh tujuh ribu jiwa. Berjodoh
dengan kekayaan laut yang mempesona. Nelayan serta petani karet sebagai mata
pencaharian dominan disana.
Sangat
menarik, ketika di pertengahan jalan berhenti di sebuah desa Titi Akar. Singkat
cerita namanya di ambil karena orang-orang disana datang untuk mengambil
akar-akar pada manggrove. Hingga suatu ketika berdiam diri dan tinggal disana.
Tercetuslah desa tersebut. Desa dimana kini mengalami perubahan besar pada
bidang pendidikan. Akses jalan tak
menghalangi mereka untuk mengutamakan ilmu dan pendidikan.
Berhubung
ini perjalanan pertamaku kesana, untuk tidak membuang ingatan, #LiburanJadiMudah dengan semakin majunya teknologi,
informasi dan komunikasi. Hal utama yang dilakukan adalah menggunakan gawai
untuk mengabadikan foto serta video. Begitu juga cerita yang dikemas hitam di
atas putih.
Sepanjang
perjalanan menuju Rupat, manggrove terhampar luas di pinggiran pantai yang di
sapu ombak silih berganti dari speedboat maupun kapal besar yang melewati.
Hamparan alam luas tersusun rapi oleh yang Maha Pencipta. Manusia ditugaskan
untuk menjaga, merawat dan melindungi agar tetap asri, yang dapat dirasakan
kesejukannya.
Grudug, grudug, grudug,
begitulah bunyi bebatuan atau karang yang terkena landasan speedboat dapat ku
dengar dengan jelas begitu juga dapat dirasakan bersama para penumpang lainnya
dan dua puluh delapan teman rombonganku.
Nanda,
si gadis dengan lesung pipi yang duduk di pinggir jendela sontak terkejut
mendengar suara itu saat sedang menikmati pemandangan. Karena ini kali
pertamanya juga ke pulau tersebut.
“Sepertinya
kebanyakan penumpang, harus ada yang diturunkan nih, kalian mau?! hahaha” ucap
senior dengan perawakan kecil yang bulat biasa dipanggil Yeni.
***
Setelah
melewati perjalanan yang panjang seperti lagu Chibi Marukochan “Jalan panjang
menuju langit biru” eaaa asik hahaha
bus yang menjemput rombongan kami sudah tiba lebih awal. Dengan demikian
#LiburanJadiMudah dengan banyaknya pilihan transportasi.
Memakan
waktu kurang lebih 15 menit, akhirnya sampailah di Desa Teluk Rhu, Rupat Utara,
Bengkalis, Riau. Pendopo beratapkan ijuk dan kursi-kursi serta meja saling
berjejeran. Payung-payung pun nampak terbentang. Menandakan suasana pantai siap
dicicipi. Debur ombak memicu semilir angin merasuki pikiran. Beberapa diantara
kami ada yang langsung mencelupkan kakinya bahkan sampai menghantarkan tubuhnya
di pantai. Jarang-jarang di Riau ada tempat main seperti ini.
Homestay
menjadi alternatif utama membersihkan jiwa raga dari dempulan hingar bingar
matahari dan sebagai singgahan istirahat, di luar dari empat tenda bermuatan
empat orang yang telah kami dirikan persis di bibir pantai. Sebab malam harinya
kami akan bakar jagung dan ubi yang di bawa dari Pekanbaru serta ikan khas
hasil tangkapan warga disana. Bahkan anda bisa ikut memancing, atau menjala
ikan bersama warga disana.
Menikmati
sunset menjadi bagian ketika
berkunjung ke suatu tempat. Sayang sunset terhalang oleh pepohonan. Tak perlu
khawatir, karena sunrise disini jauh
lebih menarik. Apalagi pagi harinya air telah surut, meski mendung menderai.
Malam
harinya, lampu-lampu dari negera tetangga terlihat gemerlap. Sayang, saat ini
akses kesana susah, tidak seperti dulu. “Kalo
tak ade passport tak bise kesane, kena tembak nanti,” ucap sekelompok
anak-anak kecil dengan bahasa Melayu kental yang masih Sekolah Dasar.
Tidak
menutup kemungkinan investor melirik pulau ini, yang merupakan pulau terluar
yang bersebelahan dengan Malaka. Bahkan bisa menjadi objek wisata menarik yang
memiliki manfaat bagi masyarakat dari segi ekonomi.
Untuk
bisa mancing mania disini, cukup menyawa kapal pompong nelayan dengan kisaran
harga Rp. 700 ribu. Lokasinya ke tengah laut hanya satu kilo meter, dekat
Malaka yang memiliki kedalaman 28 meter. Banyak ikan jenak dan ikan mirip kakap
merah yang bisa di dapat. “Tangkapan bisa mencapai 150 kg untuk bisa dibawa
pulang,” ucap Rizal (Warga / nelayan Teluk Rhu).
***
Pagi
harinya bersama warga sekitar, kami melakukan senam gembira sebagai aktivitas
rutin warga disana. Lantunan lagu Lancang Kuning di awal dan Pantai Solop di
akhir mengingatkan senam ini pada saat masih Sekolah Dasar.
Setelah
senam berakhir, tujuan selanjutnya adalah ke Pulau Beting Aceh – yang lahir
dari daratan pasir seacara alamiah seluas 1 KM persegi. Masih satu kawasan
dengan Rupat Utara. Jaraknya hanya 15 menit ditempuh dengan perahu kecil
bermesin.
Hamparan
pasir putih, laut yang hijau nan biru dengan ombak sedang cocok bagi anda yang
hobi berenang. Tak hanya itu bagi yang hobi foto bisa menjadi spot baru, begitu
juga bagi yang hobi traveling.
Ataupun yang hobi-hobi lainnya, bisa dijadikan untuk ladang rejeki.
Pulau
ini menyimpan misteri. Konon dinamakan Beting Aceh, karena salahsatu warga Aceh
yang kesana meninggal. Dan baru diketahui ternyata itu adalah sebuah beting.
Sehingga utnuk mengabadikan diberilah nama Beting Aceh. Menjadi pelajaran bagi
kita semua, bahwa “Apa yang terjadi, terjadilah / Kun Fayakun”.
Kawasan
Rupat Utara memiliki pantai yang landai, seperti di desa lainnya seperti di
Tanjung Punak dan Pantai Lapin.





Komentar