Langsung ke konten utama

Janjalan Menghantar Jejak ke Ranah Minang




Menghabiskan waktu di akhir pekan, tradisi kebiasaaan orang untuk melakukan aktivitas seperti olahraga, kulineran, traveling dan lainnya guna melepas penat atas rutinitas sehar-hari. Nah, kali ini saya akan berbagi cerita mengenai pengalaman perjalanan saya di Padang, Sumatera Barat, Indonesia.
Siapa sih yang tak kenal salah satu provinsi di Pulau Sumatera dengan julukan Ranah Minang. Ya, provinsi ini dikaruniai bukit-bukit, lembah nan ngarai, air terjun, gunung, pantai serta pulau. Siapapun yang berkunjung disini, silahkan pilih sesuai dengan kesukaan masing-masing yang pastinya sesuai budget ya teman.
***
Kala itu aku bersama teman-teman organisasi Pers Mahasiswa (Persma) Universitas Islam Riau yaitu Media Mahasiswa AKLaMASI melakukan kunjungan media ke SKK Ganto (Universitas Negeri Padang), LPM Suara Kampus (UIN Imam Bonjol) dan LPM Genta (Universitas Andalas) yang diagendakan pada 16-18 Februari. 


Kunjungan media ini diadakan untuk meningkatkan kinerja persma di berbagai bidang, mulai dari kepengurusan, keredaksian hingga penulisan. Selain kunjungan media kami juga melakukan kunjungan wisata di jantung ibukota seperti Masjid Raya Sumatera Barat, Pantai Padang dan Pantai Air Manis.
Tak butuh waktu lama untuk memutuskan tempat, akhirnya aku dan teman-teman organisasi AKLaMASI, SKK Ganto, LPM Suara Kampus dan LPM Genta segera meluncur ke lokasi tujuan. Lokasi pertama adalah Masjid Raya Sumatera Barat.
Tak seperti masjid pada umumnya, Masjid Raya Sumatera Barat ini tetap menunjukan kekhasan kearifan lokal ranah minangnya. Semakin ke atas semakin mengerucut, itulah gonjong khas Sumatera Barat (Sumbar).

Lokasi kedua yaitu Pantai Padang. Lama tak mengunjungi Pantai Padang, kini pantai tersebut sudah banyak perubahan dibanding pada 2014 lalu saat aku Sekolah Menengah Atas (SMA). Gugusan batu terusun apik menjorok ke pantai, pasirnya semakin putih, airnya kian biru, terdapat tulisan PADANG berwarna merah bata, tempat duduk serta taman. Di area taman juga terdapat Tugu Merpati. Pas banget buat teman-teman yang hobi foto ataupun menyukai fotografi. Semakin banyak objek untuk di jepret. Tak hanya itu, banyak pula penjual yang menjajakan makanan, minuman dan mainan anak-anak.
Bila siang hari teman-teman berada di kawasan pantai tersebut, terik matahari bisa dirasakan dengan cukup panas. Hampir seperti di Riau. Jika malam hari tiba, teman-teman bisa duduk di tribun atas seberang jalan yang biasa disebut dengan Taplau atau tepi laut. Deburan ombak semakin membawa suasana bagi yang mencari ketenangan disambi dengan minuman seperti jus dan makanan yang dijajakan ditempat tersebut. Kapal-kapal berlayar pun akan tampak dari kejauahan karena adanya lampu-lampu yang menyala.
Puas meninjau Pantai Padang, kami rombongan yang terdiri dari dua mobil dan dua motor segara bergegas ke Pantai Air Manis. Dalam perjalanan menuju ke pantai tersebut, kami melewati jembatan Siti Nurbaya yang kisahnya cukup terkenal di tanah air. Di kawasan jembatan tersebut banyak kapal-kapal mulai dari yang kecil, sedang hingga besar bertengger, sebagai bentuk dari mata pencaharian orang disana yang mayoritasnya sebagai nelayan.

Kawasan jembatan Siti Nurbaya pun akan tampak indah pada malam hari. Dikarenakan suasana lampu-lampu malam melihatkan betul area perbukitan. Tak jarang banyak wisatawan lokal mengambil moment untuk sekadar mengabadikan foto bersama yang terkasih. Bangku permanen dengan bahan dasar semen semakin menambah daya tarik untuk berlama-lama dengan ditemani minuman legendaris Kopmil atau kopi milo. Sruput… ah nikmatnya…
Saya beruntung dapat menikmati malam hari bersama-sama dengan teman-teman alumni Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional (PJTLN) Teknokra Universitas Lampung (Unila). Dapat dianggap reuni kecil. Ada Ade yang satu organisasi dengan saya, uda Revo (LPM Suara Kampus) dan uda Jimi (SKK Ganto). Seperti sambil menyelam minum air.
***
Lantunan musik pun masih mengiringi perjalanan kami menuju Pantai Air Manis. Aku tak ingat sama sekali musik apa yang terputar. Karena kami asik berceloteh masing-masing dengan mengagumi karunia alam semesta ini. Jalan untuk menuju pantai tersebut merupakan jalan baru, yang seperti biasa jalanan di Sumbar adalah berliku dan naik serta turun.
Belakangan ini akses jalan baru lebih dipilih sebagai jalur alternative. Terlebih pengunjung dapat bonus pemandangan laut lepas di sisi kanan, dan perbukitan yang rindang di sisi kiri.
Cukup membayar tiket masuk Rp. 5 ribu perkepala, kita sudah bisa masuk untuk menikmati hamparan Pantai Air Manis yang begitu luas. Airnya yang biru semakin menggoda untuk melakukan aktivitas di air. Berbagai macam mobilan dan motoran pantai pun disewakan, untuk memudahkan pengunjung mengelilingi pantai. 
Di pantai ini juga terhubung dengan Batu Malin Kundang sebagai cerita rakyat dari Sumbar itu sendiri. Tak hanya itu pantai ini pun terhubung dengan pulau. Tak perlu menyeberang untuk menuju pulau tersebut, cukup dengan berjalan kaki. Untuk menghindari pasang naik air laut, usahakan saat menuju pulau tidak pada sore hari. Beruntung aku dan kawan-kawan berkesempatan menuju pulau pada pukul 13.45 WIB sehingga sesampainya di pulau,kami dapat melakukan ritual kampung tengah terlebih dahulu dengan menggelar makan siang yang telah kami beli sebelumnya.
Muka ‘bego’ setelah makan siang pun terlihat dari setiap makhluk yang setelah makan siang. Pikirku aku manfaatkan untuk mengambil video ataupun foto. Kalaku berputar mengambil posisi wenak “Aw, pantang!” teriakku. Rupanya puntung rokok dari salah satu pengunjung belum dimatikan, mengenai sela-sela jari kakiku. Adalah kesalahan kenapa aku tak memakai alas kaki dengan segera.
***
Tak sedikit pengunjung yang berenang ataupun berjalan mengelilingi pantai, bermain bola di tepi pantai dan melakukan aktivitas berlibur bersama keluarga. Tampak pula ada yang sedang menggarap video.
Tepat di depan kami makan tadi, terdapat tiga anak kecil seumuran bersemangat berenang. Masing-masing mengenakan kaos dan secalan dalam dengan warna yang berbeda. Jika dilihat dari perawakannya, seperti masih kelas dua atau tuga SD. Aku pun mendekatinya untuk memotret nuansa hubungan manusia dengan alam. Ia pun tak meleraiiku malah ketagihan “Ka, poto kami lagi,” katanya demikian. Baiklah, kataku kepada gadis-gadis kecil.
Ini pertama kaliku ke Pantai Air Manis, aku berusaha untuk mendeteksi apapun yang terdapat di kawasan ini. Jari-jari daun setiap pohon kelapa saling bergesekan, menjadikan sepoinya angin semakin terasa. Hamparan karang-karang pun menghiasi di setiap sudutnya. Menjadikanku teringat pesan teman “Kalau ke pantai ataupun ke pulau, bawakan aku oleh-oleh karang ya.” Aku segera mengambil beberapa karang. Tenang saja, karang yang aku ambil bukanlah karang yang di dalam lautan, melainkan karang-karang di tepi pantai yang sudah punah.

Tak berenti disitu, uda Jimi pun membantunya untuk mencari karang dan umang-umang. Sementara uda Revo mencarikan ikan. Ada aja ya kelakuan kami. Oleh-oleh tadi adalah pesanan teman kami Nafi (LPM Gagasan UIN Suska Riau) yang juga alumni PJTLN Teknokra Unila.
Jejak di kedua pantai ini benar-benar terasa. Keindahan, senda, gurau dan kebersamaan benar-benar tercipta. Menyudahi dengan berfoto di pulau, kami bergegas kembali ke menuju parkiran, mengingat air akan pasang. Ya, memang benar terjadi adanya, untung saja tak terlalu tinggi. Menjadikan teman-teman mengangkat celana. hahaha

Rupanya para manusia ini kehausan dan kelaparan. Es tebu, tahu goreng dan bakso bakar pun ludes terbeli. Perut kenyang, hatipun senang.
Selanjutnya kami menuju arah timur tepatnya ke lokasi Batu Malin Kundang yang terkenal dengan legenda Anak Durhaka. Batu tersebut menyerupai manusia yang sedang sujud. Konon di pantai ini, Malin dikutuk oleh sang ibu. Hari yang semakin sore, kami sudahi untuk menutup perjumpaan dengan teman-teman LPM Genta Andalas. Selanjutnya kami balik ke SKK Ganto.
***
Dalam perjalanan pulang ke Pekanbaru, Riau, untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan, kami pun menjajakan kaki ke Bukit Tinggi yang terkenal dengan kota wisata. Pukul 22.00 WIB tepatnya – kami berada di kawasan Jam Gadang. Suara saluang pun terdengar. Rupanya terdapat sepasang suami istri sedang bekerja paruh waktu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saatnya Berbuat Sesuatu

“Suara kalian. Suara lo semua. Bukan gue . Tanpa kalian gue nothing . Yang berhasil adalah kalian. Yang didengar adalah suara kalian. Bukan gue . Masihkah lo pesimis?  Atau lo berani bilang "Ini saatnya gue berbuat sesuatu." Buku “Diary Gue, Diary Loe” karya Melanie Subono (Penyanyi, Aktivis HAM dan Ambasador Pekerja Migran Indonesia di Delapan Negara) yang terbit pada Mei 2014 dengan jumlah halaman 114 menjadi sorotan kedua mataku. Awalnya aku pikir ini sebuah buku yang bercerita mengenai kisah drama percintaan kawula pada umumnya. Ternyata aku salah besar, setelah membaca buku ini. Bahasa yang digunakan dalam buku tersebut menggunakan campuran bahasa, ada bahasa Indonesia, bahasa asing (Inggris) dan logat Jakarta seperti Gue dan Loe . Sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami. *** Buku ini bercerita tentang kecintaan penulis terhadap Indonesia khususnya kasus-kasus seperti Kasus Munir, kasus TKW bernama Imas Tati,  kasus seorang anak manusia ber...

Mandiri dalam Berseni

“Kami ingin membuktikan bahwa seniman itu mandiri,   membangun dengan keringat dan uang sendiri seperti dengan pertunjukan serta kreativitas” – Marhalim Zaini (Pendiri Rumah Kreatif Suku Seni Riau / RK-SSR) Beratap daun nipah dan beralaskan kayu menjadi ciri khas Sanggar Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK-SSR) ala rumah kampung dalam berkreatifitas sehari-hari. Pepohonan nan rindang menjadikan udara alami tetap terjaga serta semakin menambah kesejukan serta kenyamanan tempat itu. “Di Riau jarang ada sanggar atau komunitas yang bertahan lama dan memiliki tempat khusus untuk berkreativitas, banyak yang menempati fasilitas pemerintah seperti di Taman Budaya dan Lapangan Paripurna MTQ,” ucap Marhalim. Terdapat dua hal yang melatarbelakangi RK-SSR, 1) kemandirian – lepas dari tangan pemerintah atau tidak dibawah otoritas dari sebuah lembaga apapun. 2), menghimpun pekerja seni di Riau terutama yang memiliki visi serta motivasi yang sama, untuk berkarya yang sama dalam...

Kolaborasi antara Digital dan Kertas

Mengutip peribahasa kuno “ Verba volant scripta manen ” yang mengandung arti apa yang terkatakan akan segera lenyap, apa yang tertulis akan menjadi abadi. Jika dikaji lebih lanjut, maka hal tersebut berkaitan - alangkah baiknya apa yang terbilang untuk segera dituliskan agar tak lenyap. Maka hal itu akan berkaitan dengan si penampung goresan yaitu kertas. Kertas adalah benda yang berbentuk lembaran, dibuat dari bubur kayu yang biasa ditulisi atau untuk pembungkus. Tanpa kertas dunia ini nothing . Banyak fungsi dari kertas yang bisa didapatkan. Pertama , segi pengetahuan yang didapat dari kumpulan lembaran kertas bernama buku. Ia bisa menjadi guru dan juga guru yang tak pernah marah. Perkembangan teknologi menjadikan buku mudah dicari dan didapat. Bagaimana tidak, kini buku hadir dalam genggaman smartphone canggih. Pemilik smartphone hanya tinggal pilih dan unduh aplikasi e-book yang berfarian. Semua itu tinggal bagaimana kita memanfaatkan teknologi. Hal tersebut...