Langsung ke konten utama

Janjalan Jelajah Wisata Religi di Kota ATLAS




Hanya berbekal aplikasi online dan iuran saldo, tak mengurungkan niat untuk jelajah wisata religi dalam waktu sehari.

Semarang yang semboyannya kota ATLAS atau Aman, Tertib, Lancar, Asri dan Sehat menjadi tempat Pelatihan Jurnalistik untuk Mahasiswa "Hoax dan Jurnalisme Damai". Tepatnya di Hotel Pandanaran, Semarang, Jawa Tengah pada 25-26 November 2017. Terdapat 20 peserta yang mengikuti pelatihan, dari berbagai latar belakang Pers Mahasiswa (Persma) wilayah Semarang, Solo, Yogyakarta, Medan dan Riau. Acara di dukung oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.

Gelak tawa serta canda memenuhi ruang makan Resto Roso, Hotel Pandanaran.  Namun, sarapan kali ini tak seperti biasanya. Hanya peserta saja, karena panitia, pembicara dan mentor telah pulang terlebih dahulu, karena kegiatan telah usai. “20 peserta ini terpilih dari sekitar 60 pendaftar dalam kegiatan yang didukung Kedutaan Besar Amerika Serikat,” kata Fransisca Ria Susanti—Koordinator Program.

Pelatihan yang menghadirkan dua pembicara, yaitu Triyono Lukmantoro (Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip) dan GM Finesso (Wartawan Kompas yang juga pengurus AJI Semarang). Para mentor Ignatius Haryanto (Peneliti Senior LSPP) dan Sapto Yunus (Redaktur Pelaksana Majalah Tempo).

***
Sembari sarapan, peserta sibuk berembuk tempat tujuan wisata di Semarang. Ada yang mengusulkan ke Lawang Sewu, Goa Kreo, Kampung Warna-warni, Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), Masjid Kapal, Sam Poo Kong, Simpang Lima, Kota Lama dan wisata lainnya.

Setelah berunding panjang terdapat tiga rombongan dengan tempat dan tujuan berbeda. Saya dan kawan-kawan pers yakni Fitri (Pers Edukasi, FKIP, UIN Wali Songo, Semarang), Bella (Pers Idea, Tarbiah, UIN Wali Songo, Semarang), Ridhal (Pers Adbokasia, Hukum, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta), Atman (Pers Suarausu, Universitas Sumatera Utara), dan Faris (Pers Ara Aita, FDK, UIN Sunan Ampel, Surabaya) melancong ke wisata religi yaitu Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), Sam Poo Kong dan Masjid As Safinatul Najah yang biasa disebut Masjid Kapal.

Waktu Indonesia Barat (WIB) menunjukan pukul 10:00, rombongan bergegas untuk chek out dan saling menunggu di lobi. Berdasarkan kesepakatan bersama, telah diputuskan untuk pergi menggunakan kendaraan online dan klik. Tak sampai lima menit menunggu, mobil membawa rombongan menuju tujuan pertama, yaitu MAJT.

***
Dalam waktu 20 menit, sampailah rombongan di kawasan MAJT. Teman-teman memilih duduk sebentar di batas alas kaki dekat mesjid, akibat panas yang menyengat. "Istirahat bentar, nambah energi." Sekiranya lima menit beristirahat, kami bergegas untuk menelusuri masjid yang memiliki luas 7.669 m2 dan halaman seluas 7.500 m2.  Lokasi di jalan Gajah Raya, tepatnya di Desa Sambirejo, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang. Keunikan arsitektur masjid merupakan perpaduan antara arsitektur Jawa, Roma dan Arab.


Bagian luar terdapat bedug dan prasasti penanadatanganan pembangunan masjid. Kolam ikan yang mengelilingi semakin memikat daya tarik pengunjung. Selanjutnya kami menuju ke bagian tengah tempat payung hidrolik. Payung-payung tersebut berjumlah enam buah, yang dapat membuka dan menutup secara otomatis mengadopsi arsitektur bangunan Masjid Nabaw di Kota Madinah. Sisi kiri dan kanan bangunan dengan corak kaligrafi ungu serta putih, menambah daya tarik pengunjung atas kemegahan masjid itu. Bertembok tak menyeluruh sehingga seperti jendela alami.

Layaknya masjid pada umumnya, MAJT juga memiliki satu menara yang disebut dengan Al-Husna Tower setinggi 99 meter. Pada lantai dasar menara terdapat Studio Radio Dais (Dakwah islam) dan pemancar TVKU, lantai 2 dan 3 dijadikan sebagai Museum Kebudayaan Islam. Di lantai 18 terdapat kafe muslim yang dapat berputar 360 derajat. Sedangkan pada lantai teratas atau 19 sebagai Garda pandang Kota Semarang dilengkapi dengan 5 teropong pandang dan rukyat al-hilal.

MAJT juga memiliki koleksi berupa Al-quran raksasa berukuran 145 x 95 cm dan bedug dengan panjang 310 cm dan diameter 220 cm. Tak hanya itu, karena telah disiapkan sebagai tempat ibadah dan objek wisata religious maka sebagai penunjang disediakan 23 kamar berbagai kelas yang dapat digunakan untuk bermalam dan menikmati keindahan MAJT ini.

***
Usai menyambangi MAJT, kami berjalan menuju keluar. “Capek juga ya, nggak biasanya aku sampai secapek ini,” celetuk Ridhal yang jalannya sempoyongan. Atman asik bermain gawai, saat mendekati gate ia tak mengetahuinya. Padahal petugas sudah mengingatkan dan berteriak “Awas mas, gatenya otomatis!”. Namun, ia tetap asik dengan gawainya. Alhasil, terdengar bunyi plak, ia terkena palang dan gawainya jatuh berserakan. Beruntung ia memakai topi, jika tidak maka kepala sudah pasti berdarah.

***
Perjalanan selanjutnya menuju Sam Poo Kong, menyewa kendaraan online. Berkisar 40 menit untuk sampai di lokasi, Jalan Simongan Raya No. 129, Semarang Jawa Tengah. Cukup membayar 10 ribu rupiah, pengunjung puas menikmati fasilitas di klenteng tersebut. Jika ingin lebih puas, maka pengunjung harus membayar lebih termasuk saat ingin mengenakan pakaian adat Thionghoa.

Komplek Klenteng Sam Poo Kong terdiri atas sejumlah anjungan. Klenteng Besar dan Gua Sam Poo Kong, Klenteng Tho Tee Kong, dan empat tempat pemujaan (Kyai Juru Mudi, Kayai Jangkar, Kyai Cundrik Bumi dan mbah Kyai Tumpeng). Klenteng Besar dan gua merupakan bangunan yang paling penting dan merupakan pusat seluruh kegiatan pemujaan. Gua yang memiliki mata air yang tak pernah kering ini dipercaya sebagai petilasan yang pernah ditinggali Sam Po Tay Djien (Zheng He). Bagi wisatawan muslim yang mengunjungi klenteng tak perlu khawatir. Karena, di area tersebut juga terdapat mushola. Sehingga, tidak takut untuk tidak melaksanakan ibadah.

Corak merah menghiasi setiap anjungan di klenteng, dilengkapi dengan corak naga  menghiasi pada bangunan serta tempat duduk. Patung-patung kokoh berdiri, begitu juga patung Laksmana Zheng He. Khusus patung Laksmana Zheng He, dibuatkan biografi khusus yang ditandatangani oleh Bibit Waluyo (Mantan Gubernur Jawa Tengah) pada 23 Juli 2011. Kemudian prasasti penandatangan Klenteng pada 23 Juli 2006 oleh H. Mardianto (Mantan Gubernur Jawa Tengah).

Menghabiskan waktu kurang lebih satu jam setengah, kami harus meninggalkan Sam Poo Kong untuk bergegas ke Masjid Kapal.

***
Lantunan lagu dibiarkan berputar dalm mobil , sementara semua terdiam membisu karena kelelahan. Menuju kawasan Masjid Kapal cukup jauh dari pusat kota. Berlokasi di kampung pinggiran Semarang wilayah Barat, tepatnya di Jalan Kyai Padak RT 05/ RW 05, Kelurahan Podorejo, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, Jawa Tengah.
Kurang lebih 15 kilometer jika dari Bandara Internasional Ahmad Yani. Masjid ini dibangun oleh seorang kyai bernama Achmad. Benar saja, petunjuk jalan hampir tidak ada. Kanan dan kiri pepohonan yang sepertinya dirancang khusus untuk menjadikan kawasan Semarang masih asri akan alam.

Saat peringatan di google maps menandakan lurus terus 1 KM, kami kira sebentar lagi akan sampai. Rupanya belum. Ternyata masih ada lima kali petunjuk belok kanan dan kiri, 100 hingga 500 meter. Saat menemui jalan buntu. Driver akhirnya menanyakan pada warga keberadaan masjid, yang kemudian diberi petunjuk arah.

Bangunan dengan warna keemasan dan putih mulai tampak. Menandakan Masjid Kapal sudah tidak jauh lagi. Biaya masuk perorang 3000 rupiah. Pengunjung bisa menyaksikan penuh hamparan yang ada di sekililing masjid saat berada di lantai paling atas.

Proses pembangunan masjid sampai saat ini belum selesai sejak dimulai pada tahun 2015. Jika dilihat tampak dari luar masjid tiga lantai ini terkesan mewah, dikelilingi areal sawah dan perkebunan warga yang hijau. Tetapi, jika masuk ke dalam kondisi masjid belum rapi dan tidak tertata bahkan fasilitas juga belum terpenuhi.

Misalnya pada lantai dasar yang difungsikan sebagai ruang pertemuan masih terlihat kosong. Peralatan kursi, meja juga belum tersedia. Lantai II ruangan salat juga sama kondisinya. Sajadah untuk salat masih dan hanya berjumlah tidak lebih dari lima sajadah berukuran empat meter, hiasan ataupun ornamen tulisan-tulisan arab hanya ada di di sekitar imam salat saja. Bahkan, jamaah dilarang menyentuh gambar pada mihrab.

Sedangkan lantai III yang digunakan sebagai kegiatan keagamaan dan belajar juga sama. Hanya ada satu lemari tempat Al-Qur’an yang terbuat dari kayu sudah usang berukuran 1 x 2 meter dengan 4 tingkat tanpa kaca yang dibuat seadanya . Di lemari juga terdapat mukenah yang berantakan tanpa dilipat kembali setelah dipakai.

Tak hanya itu, kondisi atap kubahnya juga memprihatinkan, sebab terdapat celah-celah bocor jika hujan datang maka air bisa saja masuk.

Masang kubah ngono ae ra iso, (Pasang kubah gitu puun tak bisa),” ucap salah satu pegawai bangunan saat saya dan teman-teman lain mengunjungi masuk.

kubaeh ngopo toh pak? (Kubahnya kenapa pak?),tanya saya.

Iki loh mbak, nek ujan bocor, kan dadi gawe wong mbenerke, mana iki kubah mesti bakalan sui. (Ini loh mba, kalau hujan bocor, jadi buat kerja benerin, mana ini kubah, pasti bakalan lama)”

Saat kami ingin bergegas ke lantai paling atas, betugas langsung menutup pintu dan berkata “Mbak, mas, kami tutup untuk sementara, karena ini hujan, kalau nggak ditutup airnya bisa saja dibawa angin dan masuk.”

Rupanya kami belum beruntung untuk sampai pada lantai palinng atas. Kondisi hujan pun tak bisa untuk berlama-lama di Masjid Kapal tersebut. Satu persatu masuk ke mobil. Berakhirnya perjalanan ini, siap untuk kembali ke kehidupan nyata.

Terbit di Majalah AKLaMASI, Januari 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saatnya Berbuat Sesuatu

“Suara kalian. Suara lo semua. Bukan gue . Tanpa kalian gue nothing . Yang berhasil adalah kalian. Yang didengar adalah suara kalian. Bukan gue . Masihkah lo pesimis?  Atau lo berani bilang "Ini saatnya gue berbuat sesuatu." Buku “Diary Gue, Diary Loe” karya Melanie Subono (Penyanyi, Aktivis HAM dan Ambasador Pekerja Migran Indonesia di Delapan Negara) yang terbit pada Mei 2014 dengan jumlah halaman 114 menjadi sorotan kedua mataku. Awalnya aku pikir ini sebuah buku yang bercerita mengenai kisah drama percintaan kawula pada umumnya. Ternyata aku salah besar, setelah membaca buku ini. Bahasa yang digunakan dalam buku tersebut menggunakan campuran bahasa, ada bahasa Indonesia, bahasa asing (Inggris) dan logat Jakarta seperti Gue dan Loe . Sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami. *** Buku ini bercerita tentang kecintaan penulis terhadap Indonesia khususnya kasus-kasus seperti Kasus Munir, kasus TKW bernama Imas Tati,  kasus seorang anak manusia ber...

Mandiri dalam Berseni

“Kami ingin membuktikan bahwa seniman itu mandiri,   membangun dengan keringat dan uang sendiri seperti dengan pertunjukan serta kreativitas” – Marhalim Zaini (Pendiri Rumah Kreatif Suku Seni Riau / RK-SSR) Beratap daun nipah dan beralaskan kayu menjadi ciri khas Sanggar Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK-SSR) ala rumah kampung dalam berkreatifitas sehari-hari. Pepohonan nan rindang menjadikan udara alami tetap terjaga serta semakin menambah kesejukan serta kenyamanan tempat itu. “Di Riau jarang ada sanggar atau komunitas yang bertahan lama dan memiliki tempat khusus untuk berkreativitas, banyak yang menempati fasilitas pemerintah seperti di Taman Budaya dan Lapangan Paripurna MTQ,” ucap Marhalim. Terdapat dua hal yang melatarbelakangi RK-SSR, 1) kemandirian – lepas dari tangan pemerintah atau tidak dibawah otoritas dari sebuah lembaga apapun. 2), menghimpun pekerja seni di Riau terutama yang memiliki visi serta motivasi yang sama, untuk berkarya yang sama dalam...

Kolaborasi antara Digital dan Kertas

Mengutip peribahasa kuno “ Verba volant scripta manen ” yang mengandung arti apa yang terkatakan akan segera lenyap, apa yang tertulis akan menjadi abadi. Jika dikaji lebih lanjut, maka hal tersebut berkaitan - alangkah baiknya apa yang terbilang untuk segera dituliskan agar tak lenyap. Maka hal itu akan berkaitan dengan si penampung goresan yaitu kertas. Kertas adalah benda yang berbentuk lembaran, dibuat dari bubur kayu yang biasa ditulisi atau untuk pembungkus. Tanpa kertas dunia ini nothing . Banyak fungsi dari kertas yang bisa didapatkan. Pertama , segi pengetahuan yang didapat dari kumpulan lembaran kertas bernama buku. Ia bisa menjadi guru dan juga guru yang tak pernah marah. Perkembangan teknologi menjadikan buku mudah dicari dan didapat. Bagaimana tidak, kini buku hadir dalam genggaman smartphone canggih. Pemilik smartphone hanya tinggal pilih dan unduh aplikasi e-book yang berfarian. Semua itu tinggal bagaimana kita memanfaatkan teknologi. Hal tersebut...