Langsung ke konten utama

Hoax dan Kebebasan Pers

Hoax dan Kebebasan Pers
“Saring dulu baru sharing


Suwarjono adalah ketua umum Aliansi Jurnalistk Indonesia (AJI) dan Pemimpin Redaksi (Pemred) Suara.com. Ia lahir di Yogyakarta pada 5 Juli 1973.Dan dikenal sebagai praktisi media.
22 tahun ia menggeluti profesinya sebagai wartawan, dimulai sejak mengikuti pers kampus saat kuliah di Fakultas Ilmu sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Kecintaan menulis dimulai sejak sekolah di STM Pembangunan sebagai kontribusi di surat kabar. Saat kuliah ia bergabung di Tabloid Paron dibawah Gatra Group (1994-1996), Tabloid Perspektif (1998-2000), detic.com (2000-2007), okezone.com (2007-2008), Viva news di Tvone (2008-2014), Suara.com dan AJI (2014-sekarang).
Menurut Suwarjono – Hoax dan kebebasan pers adalah hal yang berbeda. Keduanya sama-sama trend di digital. Namun bisa disatukan dengan perilaku pembaca, netizen dan user.
Hasil survei pengguna internet pada 2016 berdasarkan pekerjaan Ibu Rumah Tangga (IRT) 16,6 % setara 22 juta jiwa, mahasiswa 7, 8 % setara 10,2 juta jiwa, pelajar 6,3 % setara 8,3 juta jiwa, Pekerja atau wiraswasta 62% setra 82,2 juta jiwa dan lainnya 0,6 % setra 796 ribu jiwa.
Berikut hasil wawancara;
Apasaja ciri hoax dan faktor pendorong hoax, mas?
Ciri hoax yaitu judul cenderung provokatif, kompor atau klik, nama situs media mirip, baru, tidak jelas atau tidaka adanya susunan keredaksian, konten opini, tidak jelas dan minim fakta, foto menipu alias tidak sesuai dengan caption serta akun baru dibuat, tidak jelas nan abal-abal.
Faktor pendorong hoax anatara lain perkembangan internet 132,7 juta jiwa oleh Asosiasi penyelenggra Jasa Internet Indonesia (APJII), perubahan perilaku pembaca digital native khususnya kelahiran 1980-an dan ketidakpercayaan media mainstream karena media arus utama berkepentingan di politik dan bisnis.

Alternative untuk mengurangi hoax?
Harus saling mengingatkan bagaimana berperilaku dan memanfaatkan gadget di media sosial maupun online. Saat ini banyak informasi yang berseliweran. Kebiasaan buruk pengguna sosial banyak yang langsung mengshare tanpa memilih dan mengfilter (Saring) berita. Harusnya saring dulu baru sharing.
Banyak orang yang mengira dapat konten eksklusif bagus. Karena ingin eksistensinya diketahui publik dan ini terbaru dan pertama kali, maka langsung di share. Kebiasaan ini yang sangat buruk sekali. Tanpa pernah menyaring dan memilih, karena dirasa menarik langsung tanpa tau akibatnya.
Munculnya video live streaming bunuh diri. Orang yang bermasalah keluarga suami dan istri. Karena suaminya ditinggal istri pergi ia curhat kepada audiens secara live, sambil menyiapkan tempat gantung diri. Hal tersebut sangat keterlaluan bagaimana menggunakan media publik untuk informasi yang sangat tidak masuk diakal. Karena bisa meninspirasi oranglain untuk melakukan hal yang sama. Apalagi pengguna sosial media tidak semuanya terdidik, yang tidak dapat mimilih dan memilah serta mengsharenya.
Fenomena pilkada Jakarta yang merambah sampai ke pelosok negeri. Bagaimana pilkada serentak 2017 yang menjadi pemberitaan pro dan kontra serta perdebatan (Agama, etnis, sara) terjadi di pilkada Jakarta. Sementara ada 100 pilkada lainnya di Indonesia yang mempunyai kasus yang sama, namun tak sebesar pemberitaan Pilkada Jakarta khususnya Ahok. Di Singkawang ada etnis tertentu terpilih, tidak menjadi masalah. Di Kupang dan Papua dari agama yang lain tidak menjadi masalah, bahkan partai-partai Islam pun mendukung.
Sebenarnya perilaku kita sedang di capture mulai dari kegiatan di media sosial maupun online seperti kebiasaan sehari-hari membaca apa, maka seterusnya akan dikasih seperti itu. Suka tidak suka.
Contohnya seperti apa itu mas?
Ia contohkan, jika hari ini buka tiket traveloka, maka seterusnya akan muncul. Hal tersebut juga terjadi ketika kita membaca pro kontra soal Ahok atau soal Anies. Pihak yang kontra akan diberi yang kontra terus. Dan yang pro diberi pro terus. Ada istilah hystorycall atau cookis dalam algoritma di media online bukan membuat semakin banyak konten yang dibaca namun semakin sedikit dan pikiran tidak semakin maju.
Dengan digital harusnya makin berkembang, kenyataannya tidak demikan. Teknologi yang makin maju bukan memberikan keberagaman pemberitaan, malah mempersempit pemikiran. Jika itu yang didapat terus menerus tidak akan berkembang, karena apa yang didapatkan hari itu ya itu terus.
Sebagai ketua AJI tindakan apa yang anda lakukan untuk menangkal berita hoax?
Mengajak orang untuk berliterasi media atau memahami media. Tidak semua yang dilihat di media itu adalah media tapi produksi dari lembaga ataupun personal orang yang sudah aktif.
AJI mendorong sebanyak mungkin teman-teman mengimbangi hoax dan dengan membuat konten yang positif. Misalnya teman-teman dari perguruan tinggi buat saja blog, komentar-komentar dan status yang sesuai dengan kapasitas kita dan jangan sok tahu. Contoh, jika jurnalis atau jurnalis kampus itu lebih mudah dan latihan sekaligus untuk liputan menyaksikan disini. Kalo orang-orang yang nggak ngerti dan nggak punya baground jurnalis, buat saja status, konten dan komentar yang sesuai dengan keahlian dia. Contoh anak kedokteran bisa membuat konten yang berbau kesehatan misalnya tips menghindari penyakit kanker atau ginjal. Itukan bagus ya. Akan menghindari hoax.
Mendorong klarifikasi yang dilakukan oleh dewan pers dan lainnya untuk membuat media yang berada dibawah kode etik jurnalistik secara benar. Ini cukup banyak teman-teman media jurnalis yang membangun media sendiri dan mereka punya kesempatan untuk menjadi media besar kalau kita ikut membacanya bukan mengaksesnya.
Verifikasi itu tidak hanya administrasi tapi juga melihat kontennya. Kontennya bener nggak ni, standar kode etik masuk nggak ni, ada wartawannya nggak ni. Itu yang harus diketahui.

Siapakah nakhoda Hoax?
Hoax atau hatenews pasti negativ. Semua hoax pasti negativ. Kita berharap semua pemberitaan itu profesional yang sesuai dengan fakta lapangan. Tapi kemudian karena media ini sangat terbuka dan gampang sekali dibuat hanya dalam hitungan menit dalam membuat website, ini kemudian dimanfaatkan oleh para penumpang gelap. Penumpang gelap ini namanya ada jurnalis abal-abal, politikus, kelompok intoleran yang memang sengaja memanfaatkan untuk kampanye atau profokasi dan bisnis. Dengan gampang mengshare tulisan dan asal tulisan menarik orang mau baca.
Mereka ini punya penggemar, penggemarnya bukan hanya orang-orang biasa bahkan sampai professor, doctor, ustad dan dosen udah tau ini hoax masih juga di share. Apalagi yang share levelnya professor, doctor ustad dan dosen yang levelnya apa nggak mau ya terbaca, padahal itu hoax. Nah, ini yang sampai sekarang mereka menjadi bagian dari orang yang menyebarkan hoax.
Keuntungannya, mereka yang sepaham dan kampanyenya sama untuk pilkada. Contoh; bagi saya kalau saya pendukukung Ahok dapat berita-berita yang hoax yang menyerang Anies pasti saya senang, saya share kemana-mana. Menguntungkan bagi orang-orang yang satu kubu, satu golongan yang sama-sama mereka memang ingin menjatuhkan lawan. Untuk berita yang konteksnya bisnis tekniknya pasti hanya untuk mencari uang.
Selama menjabat di AJI program apasaja yang sudah terlaksana?
Selama tiga tahun di AJI 80 % yang kami lakukan adalah pelatihan meningkatkan kapasitas jurnalis agar benar, dilakukan setiap minggu (Pelatihan pendek) dengan cara keliling diberbagai daerah. Pelatihan pendek berisi workshop selama dua hari.
Mulai dari jurnalisme dasar, advan, investigasi reporting, indept reporting, jurnalisme data, termasuk pelatihan untuk meningkatkan kapasitas di institusi tertentu. Karena, sebagian media merekrut wartawan tanpa melakukan pelatihan. Sementara banyak yang mereka rekrut itu dari berbagai macam bidang studi. Mereka di rekrut langsung terjun ke lapangan tanpa dilatih dulu. Akhirnya membuat standar jurnalistik kita tidak bagus.AJI melakukan banyak pelatihan untuk itu, melatih jurnalis agar mereka profesional.
Model pelatihan regular dilakukan setiap tiga bulan. Kalau di Jakarta bekerjasama dengan perusahaan, biasanya satu atau dua minggu sekali. Isunya meliputi perbankan, sosial media, korupsi, kapasitas manajerial dan lainnya.


2016 lalu AJI gelar Festifal Media (Fesmed) dalam rangka apa?
Digelar sebagai bentuk dari literasi media, mengajak masayarakat untuk tahu detil ada apa dibalik pemberitaan. Mereka paham dan tidak mengakses informasi secara mentah-mentah. Tapi tahu bahwa berita itu dibuat banyak faktanya.
Maka dari itu kemarin dibanyak workshop itu diungkap ada apa dibalik pemberitaan, ada isu politiknya, kepemilikannya, unsur jurnalisnya dan masyarakat.
Pengalaman mengesankan selama penugasan?
Ketika meliput Megawati waktu jadi presiden, untuk bisa wawancara beliau butuh pengorbanan luar biasa. Sampai nongkrong dirumahnya hampir dua minggu hanya untuk wawancara langsung ke dia. Mulai dari menemui suaminya dan sampai kenal seluruh pengawalnya, hingga mengikuti kemanapun jadwalnya sampai kemudian suatu saat saya diajak masuk dirumahnya. Kemudian ditanya kamu medianya apa dan tujuannya, saya malah disuruh keluar dan diusir.
Liputan di negara lain mengenai perbedaan budaya, misalnya ke Afrika ke Sudan (Negara Miskin) tapi orangnya sangat tertib. Disana tidak ada orang berkelahi dan melanggar lalu lintas.
Hukum berantem disana hanya mulut tapi tidak pernah sampai mukul. Karena siapapun yang memukul pertama maka akan ditahan. Jadi banyak budaya yang harus diketahui. Lalu di Turki waktu ada perang. Dan Bom Bali satu dua saya ada di tempat kejadian.
Cerita menarik selama berkarir?
22 tahun menjadi wartawan dan itu adalah pekerjaan paling dinamis. Setiap hari ganti isu dan setiap hari saya belajar, sampai sekarang pun saya masih belajar untuk jadi wartawan yang profesional dan mengelola media yang profesional.
Karena untuk mengelola media dan media itu berjalan terus pasti selalu ada tantangan baru. Yang membuat saya sampai sekarang bertahan belajar nggak pernah berhenti seperti belajar liputan dan menulis serta banyak sekali bertemu dengan orang yang setiap hari juga berbeda. Dari suku budaya yang berbeda sampai pada orang dengan pekerjaan gojek, warga kampung hingga presiden.
Saya pernah liputan di istana selama tiga tahun. Keliling 40 negara. Seluruh provinsi di Indonesia sudah terjamah, beberapa pulau belum namun, tempat yang sudah saya kunjungi. “Jadi lo bayangin kalo nggak jadi wartawan, nggak mungkin bisa menikmati dari Pulau Weh hingga Manokwari sampai ujung untuk eksplorasi kedalam”.
Disana banyak bertemu dengan masyarakat marginal, mulai dari orang yang susah sehingga disana bisa membantu menolong.
Kita jika jadi jurnalis menolong orang susah itu gampang. Karena dengan tulisan dan karya kita dapat membantunya sehingga tertolong. Kita nggak punya uang nggak papa, menolong dengan tulisan lebih bermanfaat dan itu luar biasa. Saya mengalami banyak, yang dulu orangnya nggak dikenal sampai terkenal sampai mereka terbantu dan ada kepuasaan. Menolong orang itu kepuasaannya luar biasa. 
Motivasi untuk Jurnalis muda?
Wartawan itu kelihatannya mudah, ketika sudah menjalani itu bisa ketagihan bahkan susah untuk keluarnya. Misalnya kaya saya sendiri yang nggak mungkin keluar dari bidang media karena sudah sedemikian lama, apa yang dilakukan dari pertama sampai sekarang itu membuat kepuasan luar biasa. Kepuasan tidak hanya dari materi tapi, ketika karya-karya dibaca, dilihat dan didengar orang kemudian memerikan apresiasi itu luar biasa besar.
Buat teman-teman yang di Pers Mahasiswa (Persma) atau kawan-kawan komunikasi yang ingin jadi jurnalis dan sudah benar memilih jurusan serta pasion karena disitulah masa depan. Siapa yang menguasai informasi dan media termasuk memengaruhi orang itu akan mendapat kelebihan mau ngapain dan kemanapun bisa, mau makan yang nggak enak samapi yang enak itu bisa, mau main ke Afrika sampai Amerika bisa, dan apapun itu semua bisa dan jadi kepuasaan batin.
Intinya sesuai pasion. Jika merasa tidak cocok jadi jurnalis segera tinggalkan dari pada buang-buang waktu, cari yang lain yang bisa membawa diri jauh lebih bermakna. Apalagi di bidang media banyak farian. Bisa ke advertising, kameramen, produksi, PR dan lainnya.
Meski tak bisa menulis, tapi kalau kita suka nanti pelan-pelan akan suka. Karena skill nomer sekian. Barengi dengan belajar.
Saya tidak pernah kebayang bisa terjun di dunia jurnalis, karena dulu saya sekolahnya di STM atau tentang teknik mesin. Tapi saya ada hobi nulis dari sekolah STM seperti menulis laporan perjalanan hingga menjadi hobi dan di apresiasi oleh media lokal dimuatnya. Begitu diapresiasi dan dibaca banyak orang dan orang memberikan feedback menjadikan saya lebih tertarik dan muncul untuk membuat lagi dan lagi.
Lalu saya melanjutkan kuliah. Dan karena menyukai jurnalistik maka saya masuk pers kampus.
Peristiwa Mei 1998 sya ada di lokasi depan Tri Sakti yang tau persis mahasiswa terbunuh. Sampai saya dulu dipanggil komnas ham untuk di testimony. Karena, Trisakti didalam pagar kampus, sementara saya diluar bersama masyarakat ramai. Profokasi dilakukan justru dari kelompok masyarakatnya oleh beberapa orang. Disana ada fly over, pas suatu saat saya mau duduk, kebetulan saya melihat ada 15 orang memberi uang cukup banyak kepada warga langsung pada membaur dan teriak membakar massa ada yang melempar-lempar.
Saya yakin betul memang 1998 termasuk yang direkayasa. Kalau memang betul ada kejadian seperti itu pasti ada orang yang dikerahkan untuk profokasi, menarik orang untuk marah, kemudian membakar. Waktu saya di Tabloid Paron, masih awal jadi jurnalis. Dan saya katakana gila, memang politik ini sanagat kejam.
Saya liput itu dan dimuat lalu saya dipanggil komnas ham untuk di testimony. Akhirnya menjadi rangkuman bahwa kejadian 1998 behind the scane bukan by actsidant.

Harapan?
Kita sadar tidak asal mengakses atau mengshare dan jangan asal mengkonsumsi. Pastikan apa yang kita konsumsi adalah berita yang dapat dipertanggungjawabkan dari media yang jelas, ada penanggungjawabnya, ditulis oleh wartawan atau jurnalis, bukan orang-orang yang tidak jelas.
Bisa dibayangkan dari 40 ribu media online, jika tidak ada jurnalis mencapai segitu, itu artinya sebagian besar yang menulis bukan wartawan. Dan hanya 10 % hingga 15 % saja media online yang benar adanya wartawan. Sisanya adalah orang yang tidak bertanggungjawab termasuk tim kampanye dan tim sukses. Caranya nyerang sana sini, dan membuat meme.
AJI adalah literasi media, ingin menyadarkan agar jangan asal share. Jika tahu itu adalah informasi hoax itu harus di delete.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saatnya Berbuat Sesuatu

“Suara kalian. Suara lo semua. Bukan gue . Tanpa kalian gue nothing . Yang berhasil adalah kalian. Yang didengar adalah suara kalian. Bukan gue . Masihkah lo pesimis?  Atau lo berani bilang "Ini saatnya gue berbuat sesuatu." Buku “Diary Gue, Diary Loe” karya Melanie Subono (Penyanyi, Aktivis HAM dan Ambasador Pekerja Migran Indonesia di Delapan Negara) yang terbit pada Mei 2014 dengan jumlah halaman 114 menjadi sorotan kedua mataku. Awalnya aku pikir ini sebuah buku yang bercerita mengenai kisah drama percintaan kawula pada umumnya. Ternyata aku salah besar, setelah membaca buku ini. Bahasa yang digunakan dalam buku tersebut menggunakan campuran bahasa, ada bahasa Indonesia, bahasa asing (Inggris) dan logat Jakarta seperti Gue dan Loe . Sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami. *** Buku ini bercerita tentang kecintaan penulis terhadap Indonesia khususnya kasus-kasus seperti Kasus Munir, kasus TKW bernama Imas Tati,  kasus seorang anak manusia ber...

Mandiri dalam Berseni

“Kami ingin membuktikan bahwa seniman itu mandiri,   membangun dengan keringat dan uang sendiri seperti dengan pertunjukan serta kreativitas” – Marhalim Zaini (Pendiri Rumah Kreatif Suku Seni Riau / RK-SSR) Beratap daun nipah dan beralaskan kayu menjadi ciri khas Sanggar Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK-SSR) ala rumah kampung dalam berkreatifitas sehari-hari. Pepohonan nan rindang menjadikan udara alami tetap terjaga serta semakin menambah kesejukan serta kenyamanan tempat itu. “Di Riau jarang ada sanggar atau komunitas yang bertahan lama dan memiliki tempat khusus untuk berkreativitas, banyak yang menempati fasilitas pemerintah seperti di Taman Budaya dan Lapangan Paripurna MTQ,” ucap Marhalim. Terdapat dua hal yang melatarbelakangi RK-SSR, 1) kemandirian – lepas dari tangan pemerintah atau tidak dibawah otoritas dari sebuah lembaga apapun. 2), menghimpun pekerja seni di Riau terutama yang memiliki visi serta motivasi yang sama, untuk berkarya yang sama dalam...

Kolaborasi antara Digital dan Kertas

Mengutip peribahasa kuno “ Verba volant scripta manen ” yang mengandung arti apa yang terkatakan akan segera lenyap, apa yang tertulis akan menjadi abadi. Jika dikaji lebih lanjut, maka hal tersebut berkaitan - alangkah baiknya apa yang terbilang untuk segera dituliskan agar tak lenyap. Maka hal itu akan berkaitan dengan si penampung goresan yaitu kertas. Kertas adalah benda yang berbentuk lembaran, dibuat dari bubur kayu yang biasa ditulisi atau untuk pembungkus. Tanpa kertas dunia ini nothing . Banyak fungsi dari kertas yang bisa didapatkan. Pertama , segi pengetahuan yang didapat dari kumpulan lembaran kertas bernama buku. Ia bisa menjadi guru dan juga guru yang tak pernah marah. Perkembangan teknologi menjadikan buku mudah dicari dan didapat. Bagaimana tidak, kini buku hadir dalam genggaman smartphone canggih. Pemilik smartphone hanya tinggal pilih dan unduh aplikasi e-book yang berfarian. Semua itu tinggal bagaimana kita memanfaatkan teknologi. Hal tersebut...