Langsung ke konten utama

Postingan

Kolaborasi antara Digital dan Kertas

Postingan terbaru

Berbeda Bukan untuk Dikasiani

Duduk di kursi hitam di antara para pemateri, wanita berkacamata yang juga mengenakan hijab biru dengan baju bermotif bunga dan celana serta sepatu hitamnya sekilas tampak tidak ada yang berbeda dengan dirinya. Ia berkesempatan menyampaikan keluh kesahnya yang terjadi di lapangan pada acara diskusi publik memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP) yang digelar oleh Koalisi Anti Diskriminasi (Kasai) Riau pada Sabtu, (1/12) di Aula Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Riau, Jl. Adi Sucipto. Acara berlangsung pukul 09.00 WIB - 12.00 WIB. Bertema "Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Berikan Demokratik Rakyat". "Acara diskusi publik ini sebagai rangkaian 16HAKTP, yang jatuh pada 25 November, mendukung pemilu anti diskriminasi, yang mana catatan tahun ke tahun berdasarkan Komnas HAM dalam satu hari ada 3 perempuan dari 10 yang menjadi korban kekerasan. Nah, di Pekanbaru dari 100 kasus yang di tangani tahun ini 75% adalah perempuan d

Mandiri dalam Berseni

“Kami ingin membuktikan bahwa seniman itu mandiri,   membangun dengan keringat dan uang sendiri seperti dengan pertunjukan serta kreativitas” – Marhalim Zaini (Pendiri Rumah Kreatif Suku Seni Riau / RK-SSR) Beratap daun nipah dan beralaskan kayu menjadi ciri khas Sanggar Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK-SSR) ala rumah kampung dalam berkreatifitas sehari-hari. Pepohonan nan rindang menjadikan udara alami tetap terjaga serta semakin menambah kesejukan serta kenyamanan tempat itu. “Di Riau jarang ada sanggar atau komunitas yang bertahan lama dan memiliki tempat khusus untuk berkreativitas, banyak yang menempati fasilitas pemerintah seperti di Taman Budaya dan Lapangan Paripurna MTQ,” ucap Marhalim. Terdapat dua hal yang melatarbelakangi RK-SSR, 1) kemandirian – lepas dari tangan pemerintah atau tidak dibawah otoritas dari sebuah lembaga apapun. 2), menghimpun pekerja seni di Riau terutama yang memiliki visi serta motivasi yang sama, untuk berkarya yang sama dalam kon

Saatnya Berbuat Sesuatu

“Suara kalian. Suara lo semua. Bukan gue . Tanpa kalian gue nothing . Yang berhasil adalah kalian. Yang didengar adalah suara kalian. Bukan gue . Masihkah lo pesimis?  Atau lo berani bilang "Ini saatnya gue berbuat sesuatu." Buku “Diary Gue, Diary Loe” karya Melanie Subono (Penyanyi, Aktivis HAM dan Ambasador Pekerja Migran Indonesia di Delapan Negara) yang terbit pada Mei 2014 dengan jumlah halaman 114 menjadi sorotan kedua mataku. Awalnya aku pikir ini sebuah buku yang bercerita mengenai kisah drama percintaan kawula pada umumnya. Ternyata aku salah besar, setelah membaca buku ini. Bahasa yang digunakan dalam buku tersebut menggunakan campuran bahasa, ada bahasa Indonesia, bahasa asing (Inggris) dan logat Jakarta seperti Gue dan Loe . Sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami. *** Buku ini bercerita tentang kecintaan penulis terhadap Indonesia khususnya kasus-kasus seperti Kasus Munir, kasus TKW bernama Imas Tati,  kasus seorang anak manusia bernama